cryptosporidiosis - USU Institutional Repository

Transcrição

cryptosporidiosis - USU Institutional Repository
CRYPTOSPORIDIOSIS
Ditulis oleh:
dr. Adelina Haryani Sinambela
DEPARTEMEN PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
CRYPTOSPORIDIOSIS
Adelina Haryani Sinambela
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Abstract :
Cryptosporidiosis is caused by protozoa Cryptosporidium sp. which is found mostly
in mammals including humans. In humans, Cryptosporidiosis has intestinal and
ekstraintestinal manifestation, primarily intestinal manifestation. Cryptosporidiosis is
one of the most common diarrheal illnesses in the world. Although the disease is self
limited in immunocompetent persons, it becoming seriously to immunosuppressive
and immunocompromised persons, especially those with AIDS. The treatment of
cryptosporidiosis include antimicrobial combination therapy and Highly Active Anti
Retroviral Therapy (HAART).
Keywords :
Cryptosporidiosis, Cryptosporidium sp., immunocompetent, immunusuppresive,
immunocompromised, AIDS, Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
PENDAHULUAN
Cryptosporidiosis adalah suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh protozoa
intracellular yaitu Cryptosporidium sp. Cryptosporidium sp. pertama kali diketahui di
dalam lambung dan usus halus tikus oleh Tyzzer (1907). Sejak itu Cryptosporidium
sp. telah diidentifikasi pada lebih dari 170 spesies binatang, termasuk ayam, kalkun,
babi, kuda dan domba, anjing, tikus liar, burung, ikan dan reptile. Dua laporan
pertama mengenai infeksi yang terjadi pada manusia yaitu pada tahun 1976, yang
menyerang anak berusia 3 tahun dengan keadaan immunocompetent dan yang
mengenai orang dewasa dengan immunocompromised. Dari tahun 1976 sampai 1982,
kejadian infeksi pada manusia jarang dilaporkan. Pada tahun 1982, dilaporkan
peningkatan kejadian infeksi secara drastis setelah diketahui Cryptosporidiosis adalah
suatu infeksi opportunistic yang dapat terjadi pada penderita AIDS. (1,2,3,4,5,6)
EPIDEMIOLOGI
Cryptosporidiosis terjadi di seluruh dunia. Infeksi lebih sering terjadi di negara
yang sedang berkembang dibanding dengan negara maju. Oocyst C. parvum
ditemukan sekitar 2 % (range 0,3-22%) pada orang dengan immunocompetent dengan
diare di negara maju dibandingkan dengan 6 % (range 1,4-41%) di negara
berkembang. Prevalensi infeksi Cryptosporidium pada orang yang positif HIV di
negara maju dan di negara berkembang yaitu 14% (range 6-70%) dan 24% (range 8,748%). Cryptosporidium juga salah satu penyebab terpenting diare pada bayi dan anakanak, terutama di negara berkembang. Di beberapa daerah, lebih dari 15%
gastroenteritis akut pada anak-anak disebabkan oleh organisme ini. Seroprevalensi di
negara maju umumnya 25-30%. Seroprevalensi di negara berkembang sering lebih
tinggi dua sampai tiga kali lipat. (1)
Wabah cryptosporidiosis
dihubungkan dengan meminum air yang telah
terkontaminasi oleh feses manusia atau hewan yang terinfeksi, tertelan air dari danau
atau kolam renang, penggantian popok yang kurang baik, tindakan kurang higienis
pada pusat penitipan anak, terpapar pada orang yang sakit di rumah sakit, memakan
makanan yang telah terkontaminasi feses, dan terpapar oleh hewan yang terinfeksi di
kebun binatang, peternakan ataupun di runah sakit hewan.(1) Wabah cryptosporidiosis
yang paling dikenal terjadi di Milwaukee (Wisconsin) di tahun 1993, yang
menginfeksi lebih dari 400.000 orang (3,6,7,8)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
TAKSONOMI
Cryptosporidium tergolong ke dalam :
Phylum
: Apicomplexa
Kelas
: Coccidea
Ordo
: Eucoccidiorida
Family
: Cryptosporidiidae
Genus
: Cryptosporidium
Spesies
: C. baileyi (pada burung), C. felis (pada kucing), C.
Maleagridis (pada kalkun), C. muris (pada tikus, lembu), C.
nasorum (pada ikan), C. serpentis ( pada ular), C. wrairi
(pada babi), C. parvum (terdiri dari 2 genotype yaitu
genotype 1 menyerang manusia dan telah diklasifikasikan
ulang menjadi Cryptosporidium hominis, serta genotype 2
yang
menyerang manusia, lembu, dan mamalia lainnya)
(1,2,3,7,8,9)
MORFOLOGI
Oocyst : bulat hampir menyerupai oval berukuran 4-6 micrometer. Ketika
matang, oocyst terdiri dari 4 sporozoit yang tidak selalu terlihat, refraktil, terdiri dari
1-8 granule yang menonjol, dan dilapisi oleh 2 dinding yang tebal.
(3,4,10)
Oocyst
umumnya dapat hidup lama di air, termasuk di laut, tetapi tidak dapat bertahan hidup
pada pengeringan. (2)
Ookista C. parvum dengan metode pewarnaan “modified acid-fast” (9)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Ookista C. parvum yang diwarnai dengan fluorescent stain auramine rhodamine(9)
Schizont dan gametosit : schizont dan gametosit (2-4 micrometer) diproduksi
selama siklus hidup C. parvum, tetapi jarang terdapat pada feses manusia. (10)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
SIKLUS HIDUP
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Keterangan Gambar:
Ookista yang telah mengalami sporulasi, terdiri dari 4 sporozoit, dikeluarkan melalui
feses dari organisme yang terinfeksi dan mungkin mengalami rute yang lain seperti
melalui sekresi saluran pernafasan (1). Transmisi dari Cryptosporidium parvum dan
Cryptosporidium hominis umumnya terjadi melalui kontak dengan air yang telah
terkontaminasi. Banyak wabah yang terjadi di Amerika Serikat terjadi di taman air,
kolam renang umum dan pusat pelayanan umum (2). Setelah tertelan (dan mungkin
terhirup) oleh hospes (3), eksistasi terjadi (a). Empat sporozoit dikeluarkan dari tiap
ookista, menembus sel epitelial (b, c) usus dan jaringan yang lain seperti saluran
pernafasan. Sporozoit akan berkembang menjadi trophozoit. Kemudian mengalami
multiplikasi aseksual (schizogoni atau merogoni) (d, e, ) yang menghasilkan meront
tipe I. Merozoit yang dihasilkan dari meront tipe I dapat mereinfeksi sel dan
mengulang kembali siklus aseksual atau menginfeksi sel dan berkembang menjadi
meront tipe II (f). Tiap meront tipe II akan membebaskan 4 buah merozoit. Diyakini
bahwa hanya merozoit tipe II inilah yang akan berkembang mengalami multiplikasi
seksual
(gametogoni)
menghasilkan mikrogamont (g) dan makrogamont (h).
Mikrogamet yang keluar dari mikrogamont akan membuahi makrogamont yang
matang dan menghasilkan zigot (i), yang akan berkembang menjadi ookista
berdinding tebal (j) dan ookista berdinding tipis (k). Ookista ini akan bersporulasi
(berkembang menjadi sporozoit yang infektif). Keluarnya sporozoit dari ookista
berdinding tipis akan menyebabkan autoinfeksi. Sementara ookista yang berdinding
tebal akan dikeluarkan melalui feses dan apabila tertelan segera akan menginfeksi
hospes lainnya. (1, 2, 3, 6, 7, 8,9,11,16)
PATOGENESIS
Tempat infeksi
Informasi terbanyak mengenai patogenesis cryptosporidiosis berasal dari
pemeriksaan histologi dari biopsi usus halus yang berasal dari individu mempunyai
imunudefisiensi (biasanya penderita AIDS). Fase perkembangan dideteksi di dalam
faring, esophagus, lambung, duodenum, yeyunum, ileum, apendiks, kolon, dan rektum
pada manusia; pada pemeriksaan post mortem didapati yeyunum merupakan bagian
yang terparah.(1,2)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Pada penderita dengan immunocompromised, cryptosporidiosis juga dapat
menyebabkan gangguan pada hati dan saluran empedu, saluran pernafasan, arthritis,
dan pankreatitis. (1,2,3,5,6,7,8,9,10,12,13,14,15)
Patologi
- Pada usus :
Mekanisme cryptosporidiosis menyebabkan diare pada manusia belum sepenuhnya
dapat dimengerti. Namun adanya kegagalan absorbsi dan peningkatan sekresi usus
halus banyak dijumpai pada kasus tersebut. (7,8)
Patogenesis diare pada cryptosporidiosis (3)
Adhesi/ invasi dari sporozoit/ merozoit Cryptosporidium parvum ke membrane apikal
dari sel epitel usus merangsang aktivitas dari beberapa seluler kinase. Invasi seluler
juga merangsang sel epitelial usus untuk memproduksi prostaglandin synthase, IL-8,
dan TNF-ά. Adanya sel polimorfonuklear (oleh IL-8), aktivasi makrofag (oleh TNFά), diproduksinya prostaglandin (oleh prostaglandin synthase) dan perubahan fungsi
pertukaran ion (oleh seluler kinase) diperkirakan merangsang sekresi usus untuk
merespon infeksi seluler terhadap Cryptosporidium parvum. Invasi seluler juga
menghasilkan pendataran dan bersatunya villi usus, merupakan kemungkinan kedua
yang terjadi pada infeksi sel dan/ atau di dalam respon immunologi seluler. Gambaran
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
ini berhubungan dengan malabsorbsi, yang akan memperberat diare. Sebagai
tambahan, adanya proses apoptosis sel-sel yang mati dan enteric nervous system juga
memberi peranan terhadap patofisiologi diare ini. (3)
Pada gambaran histopatologi menunjukkan adanya atropi villi, hiperplasia krypta dan
infiltrasi ringan sampai sedang (biasanya sel plasma dan netrophil tetapi dapat juga
makrofag dan limposit) pada lamina propria. (1,2,3,7)
- Pada saluran empedu :
Walaupun gambaran klinis dan radiologi dari billiary cryptosporidiosis telah dapat
diketahui, namun patogenesisnya belum dapat sepenuhnya dimengerti.(3,12,13).
Gambaran histopatologi yang diperoleh dari biopsi ampulla vateri menunjukkan
infiltrasi submokosa, inflamasi periductus dengan oedema interstisial, infiltrasi
neutrofil dan hiperplasia/ dilatasi kalenjar periductus.(13)
- Pada saluran pernafasan
Patogenesis dari respiratory cryptosporidiosis juga masih belum dapat dimengerti.
Respiratory
cryptosporidiosis yang melibatkan trachea, bronchus dan jarang
melibatkan parenchyma paru, dapat ditemukan pada penderita immunosuppressed
dengan gagal nafas. Dari tahun 1983 sampai 1996, diperkirakan ada 13 kasus
respiratory cryptosporidiosis yang hanya melibatkan region tracheobronchial atas.
Cryptosporidium sp. yang dideteksi secara mikroskopis di parenkim paru hanya 2
kasus, satu kasus yang diderita oleh penderita AIDS dan penderita lainnya dengan
akut nonlymphatic leukemia. (14)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Imunologi
Imunokompeten adalah faktor terpenting dalam keparahan dan lamanya
cryptosporidiosis pada manusia. Durasi crytosporidiosis sebagai self-limiting disease
biasanya berkisar antara 7-14 hari. Namun dapat menjadi kronik
dengan imunosuppresive dan imunocompromised.
(1)
pada individu
Kemungkinan respon humoral
dan cell-mediated immunity (CMI) terlibat dalam respon terhadap crytosporidiosis,
walaupun keterlibatan CMI lebih penting. Imun respon yang terpenting terhadap
parasit ini tergantung pada sel T lymphosit CD4.(1,3,8) Keparahan dan kelangsungan
penyakit ini pada penderita AIDS berhubungan erat dengan jumlah CD4 ≤ 180 sel/
mm3.
(1)
Pada satu studi, hanya 5 (13%) dari 39 penderita yang terinfeksi dengan C.
parvum dengan jumlah CD4 ≤ 180 sel/ mm3 yang sembuh dengan sendirinya. 8 orang
penderita dengan CD4 ≤ 180 sel/ mm3, infeksinya menghilang dan tidak kambuh
selama periode follow-up 1-24 bulan.(1)
Umur adalah salah satu faktor penting dalam perkembangan klinis penyakit ini
pada hewan, tetapi kurang penting bagi manusia. Pada kebanyakan hewan, diare
akibat cryptosporidiosis menyerang hewan yang baru lahir atau berusia kurang dari
6 bulan, namun pada manusia menyerang segala usia. Rentang usia yang pernah
dilaporkan yaitu dari bayi berusia 3 hari yang dilahirkan pervaginam dari ibu yang
terinfeksi Cryptosporidium ke usia 95 tahun.
(1)
Namun anak-anak di bawah usia 2
tahun lebih memungkinkan terjadinya infeksi fecal-oral transmision dan karena pada
usia ini daya tahan tubuh belum cukup kuat. (1,5)
GAMBARAN KLINIS
1. Masa inkubasi berkisar antara 2-14 hari. (5)
2. Infeksi dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik. Keparahan penyakit
bervariasi berdasarkan pada hitung jumlah sel CD4, dimana manifestasi yang
terberat terjadi pada penderita dengan hitung jumlah sel CD4 yang
rendah.(1,2,3,7,8)
3. Selain di intestinal, cryptosporidiosis juga dapat terjadi di ekstraintestinal yaitu
di saluran empedu, pankreas saluran pernafasan dan sendi.
•
Pada saluran cerna:
Diare yang encer adalah keluhan utama penderita cryptosporidiosis. Bisa
berlendir, tetapi tanpa darah dan leukosit jarang sekali terlihat.
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
(1,5,7)
Gejala
lainnya berupa nyeri epigastrium, nausea, vomitus, dan penurunan berat badan.
(1,2,3,5,6,7,8,9,10)
Demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC) dilaporkan pada penderita
dengan imunocompetent tetapi jarang dilaporkan pada penderita AIDS.(1) Pada
penderita imunocompetent, lamanya diare berkisar antara 2-26 hari.(1)
Pengeluaran ookista masih dapat berlangsung sampai 8-50 hari (rata-rata 12-14
hari) setelah ada perbaikan gejala klinis.(1,5,) Tiga gambaran klinik mayor pada
penderita imunocompetent yaitu asimptomatik, diare akut dan diare yang
persisten yang dapat berlangsung hingga beberapa minggu.(7)
Diare dapat terjadi lebih berat dan lebih lama lagi pada penderita dengan
imunocompromised atau dengan immunosuppresive. Sebuah studi cohort
mengenai penderita AIDS dengan cryptosporidiosis menunjukkan 4 pola gejala
klinis pada saluran cerna, yaitu infeksi asimptomatik, dimana penderita tidak
mengalami perubahan dalam kebiasaan buang air besar; infeksi transien
(lamanya diare kurang dari 2 bulan, dengan remisi sempurna dan hilangnya
parasit dari feses); diare kronik (diare lebih dari 2 bulan dengan tetap
dijumpainya parasit pada feses); dan diare yang fulminan (volume diare 2 liter
atau lebih perhari).
(7,8)
dari 20 liter perhari
Bahkan pernah dilaporkan diare dengan volume lebih
(1,3)
Pada banyak penderita, diare diiringi dengan nyeri
abdominal yang berat, malabsorbsi, anoreksia dan kehilangan berat tubuh yang
besar. Gambaran klinis ini tidak dapat sembuh dengan sendirinya sehingga
penderita AIDS dengan cryptosporidiosis ini memiliki angka harapan hidup
yang
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
penderita
AIDS
tanpa
manifestasi
yang
tersering
dari
(7,12)
Infeksi
cryptosporidiosis.(1,7)
•
Pada saluran empedu dan pankreas:
Billiary
cryptosporidiosis
adalah
cryptosporidiosis ekstraintestinal yang terjadi pada penderita AIDS.
Cryptosporidium sp. yang dijumpai pada usus halus dan saluran empedu
dinamakan dengan ”AIDS-associated cholangiopathy.”
(7,12)
Cryptosporidiosis
pada saluran empedu biasanya terdapat pada penderita dengan jumlah CD4
kurang dari 50 sel/ mm3 dan berhubungan dengan meningkatnya angka
kematian.(3,8) Tanda dan gejala billiary cryptosporidiosis dapat berupa
acalculous cholecystitis, sclerosing cholangitis dan hepatitis yang menimbulkan
keluhan nyeri perut kanan atas, mual, muntah, dan demam.(1,2,3,5,7,8,13) Jaundice
jarang terjadi yaitu kurang dari 5 %
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
penderita.(13) Pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai level alkalin phosphatase (ALP) yang biasanya
meningkat,
demikian
juga
dengan
level
serum
bilirubin
dan
level
transaminase.(2,3,7,810,13)
•
Pada saluran pernafasan
Gejalanya dapat berupa sesak nafas, wheezing, batuk, dan serak.
(1,5,7)
Pulmonary cryptosporidiosis ini dapat atau tidak dapat disertai dengan diare.
F. Palmieri et al
dengan
(15)
melaporkan sebuah kasus pada seorang penderita AIDS
pulmonary
cryptosporidiosis
tanpa
adanya
gejala-gejala
yang
melibatkan saluran pencernaan. Bahkan pada pemeriksaan feses tidak dijumpai
adanya ookista.
•
Pada sendi
Andreas Sing et al
(16)
melaporkan sebuah kasus pada seorang anak laki-laki
yang imunocompetent berumur 8 tahun, dengan gejala-gejala intestinal
cryptosporidiosis selama 13 bulan. Investasi protozoa diiringi dengan gejala
arthritis yang melibatkan beberapa persendian di waktu-waktu yang berbeda
(migratory arthritis). Gejala-gejala menghilang secara spontan setelah 20 bulan
bersamaan
dengan
hasil
pemeriksaan
feses
yang
negatif
terhadap
Cryptosporidium.
DIAGNOSA
Diagnosa Banding
Diare akut yang disebabkan oleh Cryptosporidium sp. tidak memiliki gambaran
klinis yang khas, sehingga diagnosa bandingnya dapat meliputi seluruh organisme
yang memiliki manifestasi klinis mirip dengan cryptosporidiosis, yaitu diare yang
encer dan tanpa darah. Diantaranya diare yang disebabkan oleh protozoa yang lain
(Giardia lamblia, Isospora dan Cyclospora), infeksi bacterial non invasive (seperti
enterotoksin Escherichia coli) dan infeksi virus (seperti rotavirus). Cryptosporidiosis
harus selalu menjadi diagnosa banding apabila ditemukan kasus dengan persistensi
atau diare yang kronis, terutama pada anak-anak di negara berkembang, orang yang
suka bepergian, dan orang-orang dengan immunocompromised.(3,5)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Pemeriksaan Penunjang
•
Laboratorium
Diagnosa laboratorium Cryptosporidium sp. diperoleh dengan ditemukannya
ookista pada pemeriksaan feses. Metode yang dipakai umumnya adalah teknik
konsentrasi feses dan pewarnaan. Teknik konsentrasi feses, seperti sedimentasi
formalin-ethylacetate atau Sheather’s sucrose, dibutuhkan untuk meningkatkan
sensitivitas ketika jumlah ookista yang dikeluarkan melalui feses sedikit.
Pewarnaan yang dapat dipakai yaitu dengan metode pewarnaan acid-fast, seperti
Ziehl-Neelsen atau teknik modifikasi Kinyoun carbolfuchsin. Ookista
Cryptosporidium sp. yang memiliki diameter 4-6 micrometer akan berwarna
merah jambu atau merah dengan pewarnaan acid-fast. Ookista ini harus dapat
dibedakan dengan organisme lain yang mirip pada pewarnaan ini, misalnya
parasit yang lain, yaitu Cyclospora dan Isospora. Pemeriksaan terbaru yang
digunakan pada saat ini yaitu direct immunofluorescence (DFA) dengan
monoklonal antibodi, enzym linked-immunosorbent assay (ELISA) dan
polymerase chain reaction (PCR), jauh lebih sensitif untuk menegakkan
cryptosporidiosis dibandingkan dengan metode pewarnaan, namun juga jauh
lebih mahal sehingga pemeriksaan dengan metode ini jarang dipergunakan.
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)
Biopsi
Walaupun jarang, pemeriksaan dengan biopsi usus halus penting untuk
menegakkan diagnosa.
(1,3)
Sebagai contoh, Greenson et al (1991) melaporkan
sebuah studi perspektif terhadap 22 orang penderita AIDS dengan diare, 2 kasus
yang disebabkan Cryptosporidium sp. tidak terdeteksi melalui pemeriksaan tinja
namun dapat dideteksi dengan biopsi usus halus. (3) Namun apabila pada kasus
yang diduga billiary cryptosporidiosis dan pada pemeriksaan feses dijumpai
Cryptosporidium sp., maka tindakan biopsi hati tidak dibutuhkan.(7,13) Pada
penderita yang diduga menderita pulmonary cryptosporidiosis terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan spesimen dari sputum atau bilasan bronhoalveolar
sebelum dilakukan biopsi jaringan. (1,5)
•
Ultra sonograpy (USG)
Pemeriksaan dengan USG abdominal adalah tes diagnostik awal yang terpenting
untuk menegakkan diagnosa billiary cryptosporidiosis.(7,13) Gambaran USG
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
menunjukkan dilatasi dari saluran empedu intrahepatis, terminal stenosis, dan
penebalan dinding kandung empedu.(2,7,13) Bila pada pemeriksaan dengan USG
tidak dijumpai gambaran ini, maka dilakukan pemeriksaan dengan endoscopic
retrograde cholecystopancreatography. Gambaran yang umum yaitu stenosis
papillary dengan intrahepatic sclerosing cholangitis. Gambaran yang lain dapat
berupa hanya stenosis papillary, sclerosing cholangitis tanpa stenosis papillary
dan striktur yang panjang dari saluran empedu ekstrahepatik.(2,3,7,13)
•
Foto Thorax
Gambaran foto thorax pada pulmonary cryptosporidiosis tidak menunjukkan
gambaran yang spesifik F. Palmieri et al (2005) melaporkan sebuah kasus
pulmonary cryptosporidiosis dengan gambaran foto thorax sebagai berikut:
Foto thorax tersebut menunjukkan adanya suatu area fokal konsolidasi pada
lobus paru kiri bawah.(15)
PENATALAKSANAAN
Sama seperti penanganan diare pada umumnya, pemberian cairan dan elektrolit
untuk mencegah ataupun mengatasi dehidrasi adalah yang terutama. Pada penderita
dengan immunucompetent, penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga
selain pemberian cairan tidak dibutuhkan lagi pengobatan yang spesifik. Walaupun
demikian apabila diperlukan dapat diberikan obat-obatan simptomatik. Sedangkan
pada penderita immunocompromised dibutuhkan obat-obatan kemoterapi yang
spesifik. Walaupun beberapa obat menurunkan frekuensi dan volume diare, namun
tidak ada yang terbukti mengeradikasi parasit ini. Anti microba seperti paromomycin,
azithromycin, nitazoxanide dan hyperimmune bovine colustrum adalah obat-obatan
yang paling banyak dipakai. (1,2,3,4,5,6,7,8,9,13,15) Pada Desember 2002, The US Food and
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Drug Administration (FDA) menyetujui pemakaian nitazoxanide sebagai suspensi
oral (100mg/ 5ml) untuk mengobati anak-anak bawah usia 12 tahun yang menderita
diare
yang
diakibatkan
oleh
Cryptosporidium
sp.(5,8,9) Pengobatan
dengan
nitazoxanide ini juga terbukti menurunkan angka kematian pada anak-anak malnutrisi
dengan cryptosporidiosis di Afrika.(5)
Penelitian Smith et al (1998) yang melibatkan 11 orang penderita AIDS dengan
intestinal cryptosporidiosis melaporkan bahwa penggunaan paromomycin (1 gram
dua kali sehari) dan azithromycin (600 mg sekali sehari) selama 1 bulan, diikuti
pemberian paromomycin selama 2 bulan dapat membantu penyembuhan.(3) Pada
penderita AIDS dengan cryptosporidiosis, pemberian obat-obatan tersebut harus
diiringi dengan pemberian Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) yang
berguna untuk meningkatkan imunitas.(5,8,9)
F. Palmieri et al (2005) melaporkan pemberian paromomycin dan azithromycin
disertai pemberian HAART pada penderita pulmonary cryptosporidiosis dapat
memperbaiki keadaan si penderita, yang ditunjukkan dengan penyembuhan sempurna
pada paru-paru yang tampak pada foto thoraks dan tidak dijumpainya ookista pada
feses. (15)
Pada kasus billiary cryptosporidiosis dengan nyeri abdominal atau cholangitis
dengan papillary stenosis, selain dengan obat-obatan ini juga dibutuhkan tindakan
sphincterotomy yang dapat memperbaiki kualitas hidup si penderita. (7,13)
PENCEGAHAN
Cryptosporidiosis terjadi oleh karena tertelan air atau makanan yang
terkontaminasi oleh feses hewan atau manusia yang terinfeksi. Tidak ada vaksin yang
efektif dan obat-obatan profilaksis untuk cryptosporidiosis, sehingga langkah yang
tepat sebagai pencegahan yaitu dengan mencegah adanya kontak air minum atau
makanan terhadap feses hewan maupun manusia.(1,2,3,5,6,710)
Ini disebabkan oleh
karena ookista Cryptosporidium memiliki resistensi yang tinggi terhadap berbagai
desinfektan dan antiseptic. Hanya ammonia (5% selama 120 menit atau 50% selama
30 menit), formol saline (10% selama 120 menit), hydrogen peroxide (3% selama 30
menit) atau chlorine dioxide (0,4 mg/ liter selama 15 menit) yang dilaporkan
efektif.(1,3) Pengeringan pada ookista dengan pemaparan udara kering selama 4 jam
juga dapat membunuhnya.(1)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
Ookista pada susu maupun makanan yang lain mungkin mati dengan cara
pasteurisasi (71,7ºC selama 5 detik), memanaskan air hingga 60ºC selama 30 menit,
atau mendinginkannya pada suhu -70ºC selama 1 jam. Tidak ada desinfektan kimia
yang aman yang dapat membunuh parasit ini. (1)
Penderita immunocompromised disarankan untuk menghindari kontak dengan
hewan, tempat rekreasi (danau, sungai atau kolam renang).
(1,2,3,5,,6,7,10)
Di beberapa
lokasi seperti rumah sakit, laboratorium dan pusat pelayanan kesehatan lainnya,
tindakan pencegahan juga meliputi tindakan isolasi terhadap penderita, penanganan
yang hati-hati dan memasak air yang akan dikonsumsi sampai mendidih. (1,2,3,5,7)
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
1. Juranek DD. Cryptosporidiosis. In Strickland GT. Hunter’s Tropical Medicine and
Emerging Infectious Disease. 8th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. 2000;
594-600.
2. Cook G. Manson’s Tropical Diseases. 20th ed. London: WB. Saunders. 1996;
1283-8.
3. Sears C, Kirkpatrick Beth D. Cryptosporidiosis and Isosporiasis. In Gillespie S
and Pearson RD (eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John
Wiley and Sons Ltd. 2001; 139-159
4. Roberts LS, Janovy Jr J. Gerald D. Schmidt & Larry S. Roberts’ Foundations of
Parasitology. 7th ed. New York: The Mc Graw- Hill Companies. 2005; 141-2
5. Kourtis
AP,
Cryptosporidiosis.
Available
from
http://www.emedicine.com/PED/topic516htm
6. Markell EK, John DT, Krotoski WA. Markell and Voge’s Medical Parasitology.
8th ed. Philadelphia: WB. Saunders. 1999; 78-82.
7. Chen X-M, Keithly JS, Paya CV, LaRusso NF. Cryptosporidiosis. The New
England Journal of Medicine. 2002. Vol. 346, Iss. 22; 1723, 9 pgs
8. Smith DM. Case Reports. The AIDS Reader. Darien : Aug 2007. Vol. 17, Iss. 8;
381. Available from:
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1333800631&Fmt=3&clientId=63928&RQ
T=309&VName=PQD
9. Cryptosporidiosis. Available from http://dpd.cdc.gov/dpdx
10. Heelan JS, Ingersoll FW. Essentials of Human Parasitology. New York: Delmar.
2002; 108-9.
11. Beaver PC, Jung RC, Cupp EW. Clinical Parasitology. 9thed. Philadelphia:
Lea&Febiger. 1984; 150-2.
12. Chen X-M, Keithly JS, Paya CV, LaRusso NF. Cryptosporidium parvum induces
apoptosis in billiary epithelia by a Fas/Fas ligand-dependent mechanism. Am J
Physiol Gastrointestinal and Liver Physiology. September 1999. Vol. 277, Iss. 3,
G599-G608.
13. Sharma A, Duggal L, Jain N, Gupta S. Case Report: AIDS Cholangiopathy.
Journal Indian Academy of Clinical Medicine. Januari-March 2006. Vol. 7, No. 1.
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008
14. Yanai T, Chalifoux LV, Mansfield KG, Lackner AA, Simon MA. Brief
Communications and Case Reports: Pulmonary Cryptosporidiosis in Simian
Immunodeficiency Virus-infected Rhesus Macaques. 2000. Vet Pathol 37; 472-5.
15. Palmieri F, Cicalini S, Froio N, Rizzi EB, et al. Case Report: Pulmonary
cryptosporidiosis in an AIDS patient: succesful treatment with paromomycin plus
azithromycin. International Journal of STD & AIDS. London: Juli 2005. Vol. 16,
Iss.
7;
515,
3
pgs.
Available
from:
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=877564551&sid=5&Fmt=4&clientId=6392
8&RQT=309&VName=PQD
16. Sing A, Bechtold S, Heesemann J, Belohradsky BH, Schmidt H. Case Report:
Reactive arthtritis associated with prolonged cryptosporidial infection. Journal of
Infection. August 2003. Vol. 47, Iss. 2; 181-4.
Dr. Adelina Haryani Sinambela : Cryptosporidiosis, 2008
USU e-Repository © 2008

Documentos relacionados