01 Cover.qxd - Mirror UNPAD

Transcrição

01 Cover.qxd - Mirror UNPAD
A23
7 NOVEMBER 2010
NOVI KARTIKA (TEMPO)
Seko bumi bali neng lemah,
Seko getih bali neng lemah....
(Dari bumi maupun darah, semuanya akan kembali kepada tanah)
imbuk, diperankan oleh Endah Laras, berulang kali
mengucap kalimat itu. Seperti ingin mengingatkan
kepada Sinta, Rama, dan
Rahwana akan gejolak di antaranya. Pergolakan batin yang dialami
Sinta atas nama kesetiaan kepada
Rama, suaminya.
Ada saja jalan bagi Rahwana
menggoda Sinta. Pelbagai macam
cara, lembut atau sedikit memaksa.
Toh, Sinta awalnya bergeming. Namun akhirnya ia tergoda dan keluar
dari lingkaran suci yang ditambatkan Rama sebelum kepergiannya.
Sebuah drama musikal, satu dari
trilogi Opera Jawa garapan sineas
Garin Nugroho.Ya, Garin menemukan Tusuk Konde, yang tak lain
adalah trilogi kedua dari keseluruhan Opera Jawa. Rabu dan Kamis
malam lalu, lakon ini digelar di
Graha Bhakti Budaya,Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebelumnya,
drama musikal ini telah dipentaskan di Amsterdam, Belgia, Paris,
London, Solo, dan Yogya.
Inilah sebuah tafsir Sinta Obong.
Lakon kedua ini berbeda dibandingkan dengan karyanya yang pertama, Ranjang Besi. Sinta adalah
dunia yang diperebutkan. Ia bisa disimbolkan sebagai tanah dengan isi
yang diperebutkan. Bisa juga sebagai simbol dunia kesucian yang harus dijaga.
Adapun Rama dan Rahwana adalah perlambang dunia ekstrem yang
paradoks dan saling memperebutkan. Dalam kisah ini, Rama tak lain
adalah simbol kebaikan yang kemudian dalam ketidakberdayaan
melahirkan kekerasan yang penuh
posesif. Sehingga melahirkan begitu banyak kekejaman dan pengadilan jalanan.
Adapun Rahwana tak lain adalah
simbol kebebasan yang dengan kekuasaan ekonomi dan daya tariknya
berusaha mengambil apa pun dalam kekuasaannya. Mereka bertarung memperebutkan Sinta.
Kisah epik Ramayana yang kompleks ini ditafsir ulang oleh Garin.
Ceritanya, Rama, Sinta, dan Rahwana dilahirkan kembali di sebuah
desa kecil di Jawa. Cinta segitiga
kemudian bersemi. Namun Sinta
memilih Rama. Mereka saling bertukar benda untuk sumpah setia
pernikahan itu. Rama memberi sehelai rambutnya dan Sinta memberi Rama sebuah tusuk konde (jepit
rambut).
Rama harus meninggalkan Sinta
untuk mencari nafkah. Ia kemudian
menggambar lingkaran ajaib di sekitar Sinta untuk melindunginya
dari mara bahaya.
Kepergian Rama adalah kesempatan Rahwana menggoda Sinta.
Segala cinta dan kasih sayang
menghujani Sinta. Sinta bimbang,
ingin tetap setia kepada Rama tapi
tak kuasa menahan rayuan Rahwana. Pada akhirnya Sinta menuruti
gejolak hatinya untuk bermain api
L
SINTA MOKSA
Sineas Garin Nugroho mementaskan drama
musikal Tusuk Konde, lakon kedua dari trilogi
Opera Jawa. Tafsir baru atas kisah klasik
Ramayana yang rumit.
Penggunaan bakul nasi seperti
gunungan yang selalu digunakan
Rahwana dan balanya untuk menggoda Sinta juga menarik. Atau
penggunaan selendang yang biasanya digunakan untuk menutupi tubuh wanita, di sini menjadi simbol
kekuatan Rahwana. Selendang digunakannya untuk merebut hati
Sinta, bercinta dengan Sinta, dan
sebagai alat tempur di medan perang.
Sinta, yang diperankan oleh Dwi
Nurul Hidayah, tak hanya menampilkan sisi kelembutan wanita. Tetapi juga kadang trengginas sebagai
bentuk ketakberdayaannya. Heru
Purwanto, yang memerankan tokoh
Rama, pun tak kehilangan gambardengan Rahwana.
Rama mengetahuinya. Ia tak bisa
lagi menahan amarah itu. Dikuasai
angkara murka, Rama membunuh
Rahwana. Rama pun membunuh
Sinta dengan menggunakan jepit
rambut pemberian Sinta.
Inilah opera yang karya warna.
Tak hanya gerak tari konvensional,
tapi juga pelbagai macam ekspresi
seni, dari teater tradisional, teater
modern, langendriyan, sampai gaya
ketoprakan berbaur menjadi satu.
Garin mempercayakan semua gerak tubuh itu kepada koreografer
Eko Supriyanto. Jelas, gerak tubuh
para penari menjadi sangat kontemporer. Meski demikian, gaya tradisi tetap ada. Eko masih mempertahankan itu.“Banyak kejutan yang
bisa diberikan Eko,”kata Garin.
Tusuk Konde mengingatkan kita
pada pertunjukan tari kolosal berjudul Matah Ati karya Atilah
Soeryadjaya dan penata artistik Jay
Subyakto, yang dimainkan perdana
di Esplanade, Singapura, dua pekan
lalu. Konsep pergelaran ini adalah
langendriyan. Semua koreografi tari berpijak pada tari tradisi. Tata
dan teknik pemanggungan yang digarap Jay memang luar biasa.
Opera Tusuk Konde memang tak
memakai teknik panggung serumit
lakon Matah Ati. Tapi ia tak serta-
merta kehilangan roh pertunjukan.
Garin sangat konsisten dengan kreasinya menggabungkan semua elemen ekspresi seni. Seperti memunculkan visual video di belakang layar
saat adegan tertentu. Misalnya, ketika Rahwana mati, di belakang layar
tampak keramik karya Tita Rubi
berbentuk manusia terbakar di
pinggir sungai.Atau kematian itu digambarkan oleh Garin dengan patung kepala dari lilin merah yang
meleleh-leleh. Karya ini merupakan
ciptaan Entang Wiharso, yang kemudian divisualisasi oleh Garin.Ada lagi wayang modern hasil karya Heri
Dono yang ikut dimunculkan ketika
mengiring kematian Rahwana.
Koreografi Eko terlihat sangat
eksploratif. Adegan Rahwana
menggoda Sinta dengan bersetubuh
digambarkan dengan sangat vulgar
meski masih dibalut oleh estetika
gerak tubuh. Beda dengan Matah
Ati, yang digambarkan dengan sangat santun saat Rubiyah menyerahkan jiwa dan raganya kepada
Raden Mas Said, suaminya.
Saat Rama membunuh Sinta
adalah puncak gerak yang luar biasa. Rama menusuk Sinta dengan tusuk konde. Semua gerak dalam
adegan itu dilakukan dalam sunyi.
Tak ada jerit, gerak tubuh dilakukan dengan cepat dan teratur.
an kebijaksanaan dan ketenangannya. Meski begitu, pada akhir cerita
ia bisa sangat drastis berubah menjadi liar seperti binatang.
Yang menarik lagi adalah upaya
Garin untuk mencari pemain yang
tak sekadarnya bisa menari. Tetapi
juga bisa menembang dan menari
dengan gaya tradisional sekaligus
kontemporer.
Tak dimungkiri Opera Jawa karya Garin adalah peta kecil dari peta
besar migrasi nilai, tubuh, dan kesenian Jawa. Sebuah peta yang sudah
lama kita abaikan. “Lakon ini hanyalah sebuah peta kecil untuk
membaca peta besar yang penuh
tuntutan baru,”ujar Garin.
● ISMI WAHID

Documentos relacionados