ANGGA RIZAL NURHUDA-FDK - Institutional Repository UIN

Transcrição

ANGGA RIZAL NURHUDA-FDK - Institutional Repository UIN
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BERITA HEADLINE KORAN TEMPO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana S1 Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Angga Rizal Nurhuda
NIM: 105051101998
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, November 2009
Angga Rizal Nurhuda
ABSTRAK
ANGGA RIZAL NURHUDA
Analisis Semiotika Foto Berita Headline Koran Tempo.
Foto Jurnalistik atau Foto Berita merupakan salah satu media penyampai
berita melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar
yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah
berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari
semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. Karena itu, untuk headline
diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman
pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5
kolom
Bagaimana Koran Tempo mengemas foto berita yang juga menjadi sebuah
foto headline? Makna apa yang terkandung dari foto berita headline koran
Tempo?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun
subjek penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada Koran Tempo pada
bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009. Sedangkan objek penelitian ini
ialah foto-foto yang diambil dengan menggunakan purposive sampling, yaitu
metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan semiotika
Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) untuk
memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline
pada Koran Tempo bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009.
Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka
dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek ideologi. Berbagai
kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat
pembingkaian peristiwa tertentu.
Koran Tempo merupakan salah satu media massa cetak yang terbit setiap
harinya. Dalam penerbitannya Koran Tempo hampir selalu menyertakan foto
berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbeda-beda yang akan diangkat.
Foto-foto berita pada Koran Tempo, terlebih foto yang menjadi headline
seringkali menampilkan foto-foto yang menarik, kuat dan memiliki relevansi
dengan berita yang ditulis.
Dari empat foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki keenam
prosedur semiotika konotasi roland barthez tetapi ada beberapa prosedur yang
lebih ditonjolkan seperti Trick Effect, Object, Photogenia. Hal ini terlihat pada
cropping sebagian foto dan manipulasi foto, objek utama yang ditonjolkan, cara
fotografer mengambil gambar, serta keterangan foto yang bersifat mengarahkan
pembaca.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil alamin Segala puji dan syukur penulis panjatkan
bagi Allah Swt Tuhan semesta alam, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang
tidak pernah putus memberikan nikmat dan barakah-Nya kepada seluruh
makhluk-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Rasulullah
Saw yang telah membawa ummatnya dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran.
Penulis bersyukur setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya
penulis pun dapat menyelesaikan karya ilmiah ini untuk mencapai gelar Sarjana
Sosial Islam (S.Sos.I). Dalam penyusunan karya ilmiah ini tentu penulis menemui
beberapa hambatan maupun rintangan, namun Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan karya ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan,
namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya. Tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat
menyelesaikan karya ini dengan baik. Maka dari itu pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. Arief Subhan M.A. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi serta sebagai Dosen pembimbing atas penulisan skripsi ini
serta para Pembantu Dekan; Pudek I, Pudek II dan Pudek III.
2. Drs. Suhaimi, M.Si. Sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra.
Rubiyanah, M.A. Sebagai Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang telah
banyak memberikan pengarahan dan bantuan kepada penulis selama
kuliah.
3. Para dewan sidang yang terhormat, Drs. Study Rizal LK, MA selaku
ketua sidang, Rubiyanah, MA selaku sekertaris sidang, Dra. Asriati
Jamil, M.Hum dan Drs. Suhaimi, M.Si selaku penguji 1 dan penguji 2.
4. Seluruh
Dosen,
Karyawan,
dan
Staf
Fakultas
Dakwah
dan
Komunikasi, yang telah banyak membantu penulis selama proses
perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Secara khusus kepada kedua orang tua penulis, Moch. Dawam dan Siti
Suyanti yang selalu memberikan kasih sayang berlimpah dan tidak
akan pernah bisa terbalas, terima kasih ayah dan bunda. Hanya Doa
penulis kepada Allah SWT semoga ridho-Nya selalu menyertai ayah
dan bunda Tercinta.
6. Kedua Adik penulis, Nurul Laily Mariani Fadjrin dan Bunga Ayu
Lestari.
7. Untuk Yikki Arstania, terima kasih atas semua motivasi, dukungan dan
doa serta semangat yang selalu diberikan.
8. Seluruh staf dan karyawan PT. Tempo Inti Media, Khususnya Rully
Kesuma selaku narasumber yang telah memberikan banyak masukan
kepada penulis.
9. Keluarga
Besar
Komunitas
Mahasiswa
Fotografi
(KMF)
KALACITRA; Andikey, Sinden, Metal, Ghoib, Apo, Meler, DJ, Liga,
Hilma, Ardi, Chris, Zukie, Agin, Kikim, Sobok, Elisha, Jose, Didik,
Temon dan seluruh saudaraku yang berdarah Kalacitra.
10. Teman-teman BATIK Group; Arifin, Aris, Alfan, Tedi, Ihsan, Fikka,
Feby, Nia, Irma, Haia, Yefhi, Emi, Maya & Nissa serta teman-teman
seperjuangan lainnya di konsentrasi Jurnalistik 2005 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Kalian telah banyak memberikan kenangan,
suka maupun duka kita bersama-sama selama kuliah di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi.
11. Keluarga Besar Jurnalistik, dari angkatan pertama (2004) hingga saat
kini. Penulis sangat bangga dan bahagia menjadi bagian dari sejarah
Jurnalistik di kampus yang kita banggakan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
12. Teman-teman Basecamp, Karang Taruna IKRAM, Sellon band, d’Move
band dan juga d’Bojez band serta Metamorfosis lanjutan dari band
penulis yang terbaru.
Akhirnya penulis hanya mampu mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah Swt
semakin menambah Rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Penulis
mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para
pembacanya. Amiiiin.
Wassalam
Jakarta, November 2009
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
E. Metodolgi Penelitian................................................................. 6
F. Tinjauan Kepustakaan............................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita......................................... 13
B. Pengertian Headline ................................................................. 18
C. Fungsi Headline........................................................................ 21
D. Pengertian Semiotika ................................................................ 23
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Serta Perkembangan Koran Tempo .............................. 41
B. Visi dan Misi ........................................................................... 44
C. Struktur Redaksi Koran Tempo ................................................. 45
D. Prestasi ..................................................................................... 46
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data 1 ........................................................................ 49
B. Analisis Data 2 ......................................................................... 55
C. Analisis Data 3…………………………… ............................... 60
D. Analisis Data 4............................................ ............................... 64
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 68
B. Saran-saran .............................................................................. 70
BAB V
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
...................................................................................................... 27
...................................................................................................... 29
...................................................................................................... 49
...................................................................................................... 55
...................................................................................................... 60
...................................................................................................... 64
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fotografi adalah seni atau proses atau metode untuk menghasilkan
gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang
mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya melalui sebuah alat
yang biasa disebut kamera.
Fotografi memiliki banyak cabang atau kekhususan, diantaranya:
fotografi jurnalistik, fotografi potret, fotografi alam, fotografi seni murni dan
lain lain.
Fotografi jurnalistik atau foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata
dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Foto Jurnalistik
merupakan salah satu media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga
sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan
komunikasi.1 Sedangkan pengertian foto jurnalistik secara universal adalah
gambar-gambar yang dihasilkan lewat proses fotografis dengan maksud
menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita tentang suatu peristiwa yang
menarik bagi publik dan diserbarluaskan lewat media massa. Ciri-ciri foto
jurnalistik adalah memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri,
melengkapi suatu berita /artikel, dimuat dalam suatu media.
Melalui sebuah foto, kita juga dapat mensyiarkan ajaran agama Islam
dalam bentuk pesan visual. Maka dari itu, foto jurnalistik tidak dapat
1
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik ,(Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 4
diabaikan begitu saja dalam sebuah penyajian berita. Banyak media massa,
terutama media cetak dan online, menyadari hal itu dengan selalu melengkapi
berita yang disajikan dengan sebuah foto atau lebih.
Foto-foto yang dimuat di suratkabar atau majalah merupakan
visualisasi dari suatu kejadian adalah berita. Foto untuk para pers biasanya
disebut foto jurnalistik. Foto-foto yang ditampilkan untuk pemberitaan, tidak
hanya untuk berita tulis saja. Akan tetapi foto-foto yang disajikan itu sudah
menjadi berita. Sedangkan fungsi foto pada berita sebagaimana halnya pada
headline yaitu: menarik perhatian pembaca, menceritakan isinya, memberi
mutu pada berita, membuat suratkabar atau majalah lebih menarik. Karena
foto adalah bentuk komunikasi visual, maka secara langsung dia menyentuh
perasaan sehingga mempercepat terbentuknya pendapat umum.2
Namun terkadang kerap kali terjadi perbedaan persepsi antar penikmat
foto atau khalayak terhadap sebuah foto. Perbedaan tersebut wajar terjadi,
karena tiap-tiap individu memiliki pendapat sendiri terhadap sebuah foto
berdasarkan latarbelakang individu tersebut. Hal ini menjadi masalah apabila
khalayak tidak menerima pesan yang sampaikan fotografer, bahkan terjadi
kesalahan pemahaman terhadap foto berita yang dianggap menyesatkan.
Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa
manusia. Berita adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha
rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks
komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka
2
M. Mundaris, Dasar-Dasar Photo Jurnalism, (Semarang : Aksara , 1976) h. 5
acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para
pembacanya.
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator
pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat
penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu,
sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia.
Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk
menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai
pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya
bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat
“kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal”
yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang
kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.
Dalam pemberitaan, terutama pemilihan headline media dituntut
untuk bersikap adil dan netral serta objektif. Namun pada kenyataan tidak
selalu demikian. Sangat banyak peristiwa yang sebenarnya sangat krusial
namun media cenderung mengabaikannya. Sebagai contoh kasus model
Indonesia, Manohara Odelia Pinot yang cenderung dibesar-besarkan namun
pada saat bersamaan terjadi penertiban PKL yang menyebabkan meninggalnya
anak kecil. Dalam kasus ini tersirat ada suatu kepentingan baik politis maupun
strategis bagi suatu media.
Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka
dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek ideologi. Berbagai
kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat
pembingkaian peristiwa tertentu.
Koran Tempo merupakan salahsatu suratkabar yang menyajikan foto
berita pada setiap penerbitannya. Dalam penempatan foto berita, Koran Tempo
memiliki pertimbangan tertentu pada penyajiaannya dalam bentuk foto berita,
karena bukan hal yang sederhana ketika suatu media yakni Koran Tempo
memutuskan untuk menampilkan foto berita dalam setiap pemberitaanya.
Koran Tempo sebagai media yang menjadi tolak ukur media di Indonesia,
ternyata cukup hati-hati dalam menempatkan diri di benak orang.
Profesionalisme yang harus terus dianut oleh seluruh jajaran Koran Tempo
membuat mereka memiliki tempat istemewa di hati pembaca dan pelanggan
setianya, termasuk pemunculan foto atau gambar pada headline suratkabar ini.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian
dengan judul: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BERITA HEADLINE
KORAN TEMPO.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak melebar, maka yang
diteliti dalam penelitian ini terbatas pada makna-makna yang terkandung
di dalam empat foto berita Headline Koran Tempo edisi bulan Desember
2008 – Januari 2009.
.
Berdasarkan pembatasan
masalah
yang tertulis
diatas,
maka
perumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Apa makna denotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?
2. Apa makna Konotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?
3. Mitos apa yang terdapat pada pada foto berita di Headline dalam Koran
Tempo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini memberi pengetahuan mengenai makna
dalam sebuah foto dan untuk mengatasi salah membaca pesan dari foto berita.
Tujuan khusus dari penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisa
beberapa permasalahan, sebagai berikut:
1. Makna denotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam
Koran Tempo?
2. Makna Konotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam
Koran Tempo?
3. Mitos yang terkandung pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran
mengenai dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik/foto berita
kepada mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik khususnya dan kepada
setiap orang yang ingin dan sedang terjun di dalam bidang fotografi
jurnalistik. Selain itu, memberikan gambaran mengenai cara membaca
makna dan menerapkan ilmu tanda yaitu semiotika dalam membaca
makna dalam foto/gambar dalam sebuah foto berita agar mereka lebih
kritis dan aktif dalam memaknai foto berita di media massa.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran
tahapan yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah foto berita
dan tahapan dalam membaca makna yang terkandung didalam foto
berita khususnya menggunakan ilmu semiotika.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian ini adalah paradigma interpretatif, dimana
pemaknaan hanya terjadi pada konsep mental pada tiap-tiap individu, sebab
penelitian ini bersifat subjektif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan dalam
ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dan berinteraksi langsung dengan
manusia dan dalam proses pemaknaan tidak lepas dari unsur subjektifitas.
Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa3: ”pengetahuan tidak mempunyai
sifat objektif dan tetap, tetapi bersifat enterpretatif.
Penelitian ini mendasarkan diri kepada hal-hal yang bersifat diskursif,
seperti transkrip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dokumendokumen tertulis dan data nondiskursif (seperti candi, monumen, arsitektur,
foto, musik, video, gerakan-gerakan tari, fashion dan hidangan
makanan
tersaji dalam suatu food festival). Pijakan analisis dan penarikan kesimpulan
dalam penelitian komunikasi kualitatif adalah kategori-kategori substansif dari
makna-makna atau lebih tepatnya adalah interpretasi-interpretasi terhadap
gejala yang diteliti.4
1. Subjek, Objek dan Tempat Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian adalah Koran Tempo. Sedangkan,
objek penelitian ini ialah foto-foto berita Headline pada Koran Tempo.
Tempat pengambilan data dalam penelitian ini akan dilaksanakan
di Kantor redaksi koran Tempo, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan
Kebayoran Baru-Mayestik, Jakarta 12240, Indonesia.
2. Sampel Sumber Data
Dalam
penarikan
sample,
peneliti
menggunakan
tekhnik
pengambilan sampel purposive sampling. Seperti yang dikutip oleh
Fatimah dalam skripsinya yang berjudul Makna Foto Berita Perjalanan
Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqani Maksum Pada Galeri
Foto Antara.co.id), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa purposive
3
Dedy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) h.
4
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2007), h.
37-38.
sampling yaitu metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada
kriteria-kriteria tertentu. Sample yang diambil mempunyai maksud dan
tujuan tertentu. Juga, dipilih secara sengaja oleh peneliti.
Sample sumber data yang dipilih oleh peneliti ialah empat foto
Headline Koran Tempo edisi bulan Desember 2008 – Januari 2009.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan,
pengubahan, pencatatan dan pengoden serangkian perilaku.5
Menurut Indriantoro dan Supomo, observasi adalah proses
pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau
kejadian yang sistematik tanpa adanya pertnyaan atau komunikasi
dengan individu-individu. Data yang dikumpulkan pada umumnya
tidak terdistorsi, lebih akurat dan rinci, serta bebas dari respon bias.6
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan dengan
melihat langsung serta mencermati setiap tanda-tanda pada objek
penelitian yakni empat foto headline pada Koran Tempo edisi bulan
desember 2008 sampai januari 2009.
b. Dokumentasi
Dokumen adalah resepresentasi dari arsip. Dokumen adalah
rekaman peristiwa
5
yang lebih dekat dengan percakapan.7
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h.
83.
6
Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 34.
7
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 97.
Dokumentasi adalah penelitian mengumpulkan, membaca dan
mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau
jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau instansi lain
yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Dokumendokumen yang ada kemudian dipelajari untuk memperoleh data
dan informasi dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data
yang berhubungan dengan penelitian berupa empatt foto headline
Koran Tempo.
c. Wawancara
Wawancara (interview) merupakan alat pengumpulan data yang
sangat penting dlam penelitian komunikasi kualitatif yang
melibatkan manusia
sebagai subjek
(pelaku
atau
aktor).8
Wawancara adalah salah satu faktor penting dalam menggali
informasi dari narasumber.9 Dalam penelitian ini dilakukan
wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu wawancara yang
bersifat terstruktur dan mendetail.10 Dalam hal ini, wawancara
langsung dan mendalam dilakukan kepada Rully Kesuma yang
menjabat redaktur foto Koran Tempo.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan
semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan
8
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 132.
http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses pada
17 Juli 2009
10
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 134.
9
denotasi) untuk memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto
yang menjadi sample dalam penelitian ini.
F. Tinjauan Kepustakaan
Foto berita merupakan salah satu pokok penting dari sebuah berita.
Yurnaldi mengatakan dalam buku Jurnalistik Siap Pakai, bahwa foto-foto
jurnalistik sangat penting dan perlu dalam dunia media cetak. Karena foto
membuat segar halaman surat kabar, menolong mata pembaca untuk melihat
hal-hal menarik, memisahkan dua berita agar tidak monoton. Penelitian
dengan subjek foto berita pernah dilakukan oleh Septian Ermawan, mahasiswa
IISIP Jakarta, pada tahun 2008. Judul penelitiannya ialah Penyajian foto
Headline suratkabar Republika edisi juli-desember 2007 dilihat dari nilai
berita, syarat foto berita dan syarat caption.
Selain itu, skripsi lain yang juga meneliti foto berita dan menggunakan
analisis semiotika Roland Barthes disusun oleh Fatimah Thamrin, mahasiswa
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jakarta pada tahun 2008, berjudul Makna
Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni
Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id)”.
G. Sistematika Penulisan
Bab I:
Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, yaitu penjabaran
masalah yang dibahas dalam penelitian ini dan seberapa
pentingnya penelitian foto jurnalistik/foto berita yang diteliti
menggunakan analisis semiotika dan terdapat di Headline Koran
Tempo untuk dibahas. Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,
Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.
Bab II:
Menjabarkan isi penelitian yang didapatkan dari hasil studi
pustaka dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Yaitu,
pengertian fotografi jurnalistik, pengertian Headline, pengertian
semiotika serta bagaimana membaca makna yang terdapat dalam
foto/gambar
menggunakan
analisis
semiotika,
terutama
menggunakan teori semiotika Roland Barthes.
Bab III:
Membahas profil Koran Tempo yang sekarang merupakan surat
kabar besar nasional. Sejarah berdirinya Koran Tempo,
perjalanannya hingga bertahan sampai sekarang dan memiliki
banyak divisi di dalamnya. Seberapa besar pengaruh Headline
Koran Tempo dalam setiap berita yang dipublikasikan dan
disebarkan kepada masyarakat.
Bab IV:
Bagian analisis data tentang makna yang terkandung dari foto
jurnalistik di Headline Koran Tempo bulan Desember 2008 –
Januari 2009 dengan menggunakan semiotika Roland Barthes.
Bab V:
Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari hasil penelitian serta
saran-saran untuk memajukan para fotografer maupun yang
ingin menjadi fotografer dalam penyajian atau pengambilan foto
agar tidak sembarang dan memiliki konsep yang matang dalam
pengambilan sebuah foto.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita
Kata fotografi (Inggris: Photography; Belanda: Fotografic) berasal dari
bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya dan graph yang berarti menulis atau
menggambar. Jadi, secara harfiah, fotografi berarti menggambar dengan bantuan
cahaya.11 Foto yaitu cahaya dan grafi ialah tulisan.
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran
transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang
terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks
tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian
pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.12
Foto merupakan sinonim potret. Arti harfiahnya ialah gambar yang dibuat
dengan kamera dan peralatan fotografi lainnya. Fotografi dapat menjadi media
komunikasi. Foto harus dibedakan menjadi banyak kategori dengan tujuan untuk
mempermudah pembuatan dan pemanfaatannya, sesuai dengan standar kualitas
bagi masing-masing keperluan.13
Fotografi pada umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang
memungkinan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang terdapat dalam
11
M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
1996), h. 7.
12
Ajidarma Gumira Seno, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.
27.
13
F. Rahardi, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, (Depok: Kawan Pustaka,
2006), h. 83.
kenyataan tri-matra. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas)
mengubahnya menjadi kenyataan dwi-matra, baik secara monochrome (hitamputih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan). Dengan demikian,
sebuah foto pada dasarnya adalah wujud satu moment dari satu atau serangkaian
gerak.14
Suatu foto yang baik adalah sama dengan seribu kata, dan dengan
demikian foto menjadi suatu alat yang essensial dalam pewartaan kantor berita
atau media cetak. Kualitas sebuah foto tergantung dari kualitas si pengambil
gambar; subjek foto tergantung dari penggunaan kameranya secara penuh daya
angan-angan atau imajinatif. Terlebih-lebih, sebuah gambar harus menangkap
action penting, pada saat yang menentukan, sebagaimana dikatakan oleh
fotografer termashur Henri Cartier-Bresson.15
Foto berita ialah dibuat oleh seorang wartawan foto, dengan menggunakan
kamera foto, berupa gambar. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah fotografi serta
kaidah-kaidah jurnalistik. Foto berita adalah fakta objektif karena kamera foto
tidak dapat berbohong dalam membuat gambar.16
Menurut Oscar Motullah dalam makalahnya “suatu pendekatan visual
dengan suara hati”, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk
menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluasluasnya, bahkan hingga kerak dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo
yangsesingkat-singkatnya. Melihat foto jurnalistik sebagai kajian artinya
memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses sesuatu yang
14
Ed Zoelverdi, Mat Kodak, (Jakarta: PT. Temprint, 1985), h. 76.
LKBN Antara, Sebuah Pedoman untuk Pewarta Kantor Berita (Jakarta, PT. Sinar
Hudaya), h. 115
16
M. Mudaris, Jurnalistik Foto, h. 55-56.
15
dikomunikasikan, dalam hal ini yang bernilai berita kepada orang lain atau
khalayak lain dalam masyarakat17.
Wilson Hick, redaktur senior majalah Life (1937-1950) dalam buku world
and Pictures (New York, Harper dan Brother, Arno Press 1952, 1972), foto
jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan18.
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka Magnum
yang terkenal dengan teori “Decisive Moment” menjabarkan, foto jurnalistik
berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera,
merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra
tersebut mengungkap sebuah cerita19.
Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan
medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan
yang mengantar dari isi foto itu sendiri20
Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan
medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan
yang mengantar dari isi foto itu sendiri21.
Jenis-jenis foto jurnalistik dapat diketahui melalui kategori yang dibuat
Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo Foundation) pada lomba foto
tahunan yang diselenggarakan bagi wartawan seluruh dunia kategori itu adalah
sebagai berikut:22
17
Makalalah Seminar Fotografi oleh Eddy Hasby (artikel pada www.tribunkaltim.co.id)
ibid
19
ibid
20
Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo.
21
Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, Redaktur Foto Koran Tempo.
22
Audy Alwi Mirza, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) h. 7-9
18
a. Spot Photo
Foto spot adalah foto yang dibuat pada peristiwa yang tidak
terduga yang langsung diambil oleh fotografer di tempat kejadian.
Misalnya, foto kecelakaan, kebakaran, perkelahian, dan perang. Karena
dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi serta menampilkan konflik dan
ketegangan, maka foto spot harus segera disiarkan. Dalam hal ini,
keberanian
seorang
fotografer
sangat
dibutuhkan.
Selain
itu,
keberuntunganpun menjadi patokan utama dalam hal posisi dan
keberadaannya.
b. General News Photo
General News Photo Adalah yang diabadikan dari peristiwaperistiwa yang terjadwal, rutin, dan biasa. Temanya bisa bermacammacam, yaitu, politik, ekonomi dan humor. Contohnya, presiden
membuka pameran foto, pertunjukan badut di suatu acara, dan lain-lain.
c. People in the News Photo
People in the News Photo Adalah foto tentang orang atau
masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah sosok orang pada
berita itu. Bisa kelucuannya, nasib, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh
dalam foto ini bisa tokoh yang populer dan bisa juga tidak, akan tetapi
kemudian menjadi populer karena foto tersebut di publikasikan.
Contohnya, foto Juned, korban kecelakaan peristiwa tabrakan kereta api
Bintaro.
d. Daily Life Photo
Daily Life Photo Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari
manusia dipandang dari segi kemanusiaannya. Misalnya, foto seorang
pengemis di depan sebuah Universitas.
e. Portrait
Portrait Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara
close up. Ditampilkan karena ada kekhasan pada wajah yang dimiliki atau
kekhasan lainnya.
f. Sport Photo
Sport Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.
Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan
penonton dan fotigrafer, dalam pembuatan foto olehraga diperlukan
perlengkapan yang memadai, misalnya lensa yang panjang, serta kamera
yang menggunakan motor drive. Menampilkan gerakan dan ekspresi atlet,
serta hal lain yang menyangkut olahraga.
g. Science and Technology Photo
Secience and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari
peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam hal ini, dalam pemotretan tertentu membutuhkan
perlengkapan khusus, misalnya lensa mikro atau film x-ray , misalnya
untuk pemotretan organ di dalam tubuh.
h. Art and Culture Photo
Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni
dan budaya. Misalnya, pertunjukan artis di atas panggung.
i. Social and Environmant
Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta
lingkungan hidupnya. Misalnya, foto asap buangan kendaraan di jalan.
B. Pengertian Headline
Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau
lebih populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang
di halaman depan, dengan judul yang merangsang perhatian dan menggunakan
tipe huruf yang relatif besar. Pendeknya berita yang istemewa.23
Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan,” Headline News atau
berita utama adalah berita suratkabar, majalah, radio atau televisi, yang dinilai
terpenting untuk suatu masa penyiaran.24
Menurut A.M. Hoeta Soehoet pengertian berita utama adalah :
Berita Utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar
merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari
itu. Karena itu, untuk Headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu
halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline
biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5 kolom.25
Berdasarkan isinya headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori
yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan
terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional.
Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan diri audience. Daya tarik rasional
menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.
23
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 1991),
h.257
24
Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, ( Bandung: Mandar Maju,
1981), h.160
25
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik, (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta
IISIP, 2003), h.78
Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai ekonomis, manfaat,
atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis,
tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap
headline ini.
Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam
memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik
emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau
negatif yang akan memotivasi pembelian. Dalam hal ini headline memiliki
asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong
munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu
dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa
bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak
mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang
positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.
Berdasarkan bentuknya headline dikelompokkan ke dalam 6 kategori,
diantaranya sebagai berikut26:
1. headline berita menyatakan suatu berita (“Krisis Multifungsi Segera
Selesai …”);
2. headline pertanyaan biasanya mengajukan pertanyaan problematik
(“Saban Bulan Mengganggu Sampeyan?”);
3. headline narasi menceritakan sesuatu peristiwa yang mengesankan
(“Permen Yang Terlalu Enak Buat Anak Kecil …”);
26
Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, (Surabaya: Fakultas Seni
dan Desain UK Petra, 2000). h. 76-79
4. headline perintah biasanya mensugesti audiens untuk melakukan
sesuatu tindakan (“Jangan Membeli Sebelum Anda Mencoba
Ketiganya …”);
5. headline cara 1–2–3 berisi kiat untuk mengatasi persoalan (“12 Cara
Untuk Mengurangi Pajak Penghasilan Anda”)’
6. headline
bagaimana–apa–mengapa
mengungkapkan
rangkaian
kejadian sebab-akibat (“Mengapa Mereka Tidak dapat Berhenti
Membeli”).
Merancang sebuah headline bukan pekerjaan yang sekedar mengandalkan
akal sehat, pikiran kritis, kreativitas, atau intuisi. Secara teknis headline dituntut
untuk mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi
secara cepat dengan ide yang tepat pula. Suatu penelitian mengenai dua versi iklan
yang sama – dengan
elemen-elemen iklan yang sama persis namun dengan
headline yang berbeda, telah menimbulkan reaksi audiens secara berbeda pula.
Untuk menulis headline dibutuhkan waktu berhari-hari. Dalam hari-hari
yang dihabiskan untuk ‘mengkuatirkan perkataan’ itu barangkali telah dihasilkan
puluhan, atau bahkan ratusan headline, dan desainer harus memilih satu
diantaranya yang dianggap paling tepat. Tapi, pilihan ini belum tentu sesuai
dengan kebutuhan audience.
Pada
prinsipnya,
perancangan
headline
idealnya
berpihak
pada
karakteristik dan kebutuhan target audiens. Untuk itu, desainer tidak dapat sekedar
mengandalkan kreativitas. Eksplorasi kreatif barangkali mampu menghasilkan
suatu headline yang unik dan menarik, namun hal ini belum cukup memberikan
jaminan bahwa audience bersedia melanjutkan ketertarikannya itu.
Sesungguhnya, apapun isi dan bentuknya, headline harus mampu
mengemban fungsinya secara optimal. Sebuah headline yang bagus akan mampu
menghentikan audience, menerangkan produk dan merk, serta memulai penjualan
dengan menarik perhatian audiens ke arah bodycopy.
C. FUNGSI HEADLINE27
Pada dasarnya, headline yang bagus akan menarik perhatian audience
yang memiliki prospek; headline tidak akan menarik perhatian mereka yang tidak
berkepentingan dengan produk. Sebuah headline yang bagus akan memilih target
audience -nya dengan membicarakan kesenangan mereka.
Headline berfungsi untuk menghentikan audience. Salah satu cara untuk
menghentikannya adalah dengan melalui pesan yang menantang. Teknik ini akan
semakin memiliki pengaruh jika mengundang audience untuk berpartisipasi dalam
mengembangkan pesan, atau dipaksa untuk membaca dan menemukan
jawabannya.
Untuk itu, pesan yang agak tidak sesuai dengan yang diyakini
audiens merupakan penarik perhatian yang paling berharga.
Headline juga berfungsi untuk menerangkan produk dan merk. Untuk itu,
headline mengemban tugas untuk menjawab pertanyaan: “Apa kebaikan merk
itu?” Satu dari tantangan terbaik dalam perancangan headline ialah menciptakan
memori, bahwa merk yang ditawarkan merupakan yang terbaik untuk jenis produk
itu. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kunci verbal sebagai pengingat dan
27
Ibid. h.79-80
pemandu identitas sesuatu merk. Kunci verbal yang bagus antara lain ditunjukkan
oleh headline 7-Up yang memberitakan bahwa 7-Up bukanlah minuman cola
dengan “The Un-Cola ”.
Fungsi lain dari headline yang bagus adalah untuk mengenalkan ide yang
hendak dijual. Hal ini dapat dilakukan jika iklan akan dibarengi dengan
perencanaan penjualan, strategi pemasaran, atau strategi promosi yang unik.
Contoh headline ini antara lain dapat dilihat pada Sprite dengan headline “Ku
Tahu Yang Ku Mau”. Akhirnya, headline yang bagus akan mengajak audience
untuk membaca bodycopy. Hal ini bukanlah hal yang mudah, sebab riset telah
menunjukkan bahwa hanya 20% mereka yang membaca headline meneruskan
untuk membaca bodycopy. Idealnya, setiap target audience yang membaca
headline melanjutkannya membaca bodycopy. Jika hal ini tidak terjadi, headline
dipastikan belum berfungsi secara baik; headline hanya berfungsi untuk menarik
perhatian, tetapi tidak mampu mengikat perhatian.
Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa head berarti
kepala. Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita.
Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan
menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau
khalayak menganggapnya sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat
berperan membentuk opini publik (public opinion).
Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada
halaman depan surat kabar yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena
headline yang berada pada halaman depan adalah peristiwa yang dianggap penting
oleh pemilik dan orang-orang yang berada di media tersebut.
Grand, M. Hyde dalam bukunya The Journalitic Writing, mengatakan
bahwa judul dalam sebuah surat kabar dapat dinamakan headline. Sedangkan
dalam Majalah disebut heading atau titles.
Terdapat dua pengertian tentang headline. Headline sebagai judul berita.
Dan headline sebagai berita utama yang ditonjolkan. Cirinya menggunakan huruf
lebih besar dibanding dengan yang lain528.
D. Pengertian Semiotika
Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu
tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi.
Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa
disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan
pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuau
yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain.29 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda.30 Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis
mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya dan prosesnya. 31
Pada dasarnya para ahli semiotik melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai
pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek.32
28
http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-headline-pada.html
diakses pada 17 Juli 2009.
29
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 95.
30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,(Bandung: Rosdakarya, 2006) h. 15.
31
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa,
1931), h. 3.
32
Untung Yuwono dan Christomy. T, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia,
2004), h. 77-78
Secara terminologis, menurut Umberto Eco, semiotik dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa,
seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yaitu, semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. semiotik itu mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti.33
Menurut Pateda, Semiotika ada sembilan macam, yaitu:
1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisa sistem tanda. Pierce
mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, objek dan makna.
2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit mendung menandakan
akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Namun,
dengan majunya teknologi, pengetahuan dan seni, telah banyak tanda yang
diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan
sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan
tanda untuk berkomunikasi antara
sesamanya,
tetapi sering
juga
menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor
ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau
ada sesuatu yang ia takuti. Tanda yang dihasilkan oleh hewan ini, menjadi
perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.
33
Alex Sobur, Analisis Teks Media, hal 96.
4. Semiotik cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa
masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang
telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat
dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tandatanda tertentu yangmembedakannya dengan masyarakat yang lain.
5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Itu sebabnya Greimas
(1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia
membahas persoalan semiotik naratif.
6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun
hujan dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang
tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor,
sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah
merusak alam.
7. Semiotik normative, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya ramburambu lalu lintas.
8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing yang
berwujud kata maupun yang berwujud kalimat. Buku Halliday (1978) itu
sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial
menelaah tanda yang terdapat pada bahasa.
9. Semiotik Sruktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 34
Selain itu terdapat aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland
Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna
primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes
menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi.
Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan
semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya, Saussure.35
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang
mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud,
keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi
Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan
bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek
manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan
manusia pada semua keadaan.36
Dalam pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik
adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure memusatkan perhatian pada sifat
dan perilaku tanda linguistik. Di dalamnya terdapat pokok-pokok pikiran yang
nantinya memberi bentuk pada tradisi pengkajian tanda di Eropa, yang kemudian
dikenal dengan istilah Semiologi (Ilmu tentang Tanda). Menurutnya, definisi
tanda linguistik merupakan entitas dua sisi (dyad) yang bersifat arbitrer
34
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 100-102.
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, ( Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155.
36
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 104.
35
(berdasarkan kesepakatan). Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier)
yaitu aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi pada
saat orang berbicara. Bunyi tersebut berasal dari getaran pita suara (yang tentu
saja bersifat material). Penanda verbal tersebut disebut Saussure sebagai “citra
bunyi (sound image)”. Sisi kedua dari tanda -yaitu sisi yang diwakili secara
material oleh penanda- disebut sebagai petanda (signified) yang merupakan
konsep mental. 37
Jadi, tanda menurut Saussure ada tiga. :
- Signifier (penanda), yaitu aspek material, wujud fisik dari tanda itu sendiri,
bunyi atau coretan bermakna, misalnya: tulisan dikertas dan suara diudara.
- Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang direpresentasikan atau
konsep sesuatu dari signifier.
- Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
Sign, yaitu upaya dalam memberi makna terhadap dunia.
SIGN
signified
signifier
Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified
37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46-47.
Tanda menurut Saussure ialah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan
signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah.
Sebagai contoh: kata ‘laki-laki’ (yang terdapat di pintu WC) adalah terdiri dari:
-
penanda: kata ‘laki-laki’
-
petanda: sebuah ruang wc yang digunakan hanya untuk manusia berjenis
kelamin laki-laki. 38
Saussure mengibaratkan tanda, penanda, dan petanda seperti lembaran
kertas; satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu
sendiri adalah tanda. Kita tidak dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda
itu sendiri. Sebagai contoh, penyebutan kata arbor (sejenis pohon, Terj.) adalah
tanda yang mengandung konsep “pohon (tree)” dan bukan ide keseluruhan dari
“arbor” itu sendiri, namun karena asosiasi terhadap “arbor” sebagai bentuk
pohon telah menjadi konvensi publik, telah mengakibatkan konsep ide panca
indera kita secara tak langsung menyatakan bahwa bagian ide tersebut menjadi
konsep keseluruhan. 39
Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak
isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film,
bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.40
Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland
Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat
feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena
gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan
38
Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi,
39
Ferdinand de Saussure, A Course In General Linguistics, (New York: Mc. Graw-Hill,
40
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 124.
h. 45-46.
1966).
masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita.
Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita
tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).41
Menurut Thomas, dalam semiotik sebuah teks merepresentasikan sebuah
rangkaian koheren dari signifiers.42
Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of
signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of
signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang
berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda
tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada
tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.43
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:
1. signifier
(penanda)
2. signified
(petanda)
3. denotative sign (tanda denotative)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Paul Cobley & Litza Janz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.
41
42
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156.
Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi,
h. 39.
43
Ibid., h. 57.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.44
Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan
antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika
konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem
konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam
gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara
keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur
gambar dalam foto.45 Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis
binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain,
seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.
Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan
literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa
harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga
sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna
tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan
44
45
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69.
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 160.
yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologiideologi suatu formasi sosial tertentu.46
Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real
unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal
anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan
disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara
spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang modern (yang hidup dalam
mass image) akan realitas. Foto berita menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa
kode (message without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message
with a code). Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna
atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada
pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah
hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat
konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri
melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul
karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah
yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.47
Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem
yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai
tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode
sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem
komunikasi.48
46
Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi,
47
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 163-164.
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 17-18.
h. 57-58.
48
Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam
membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca
berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengn foto berita, Barthes
masih memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan
signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan
oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabuangan dari
ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena
itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam
headline atau artikel. 49 Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary,
unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan
sesuatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran
sepersis mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa
menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi
sebatas sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.
Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan
dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi
kognitif, dan etis-ideologis.
1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau
verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.
2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya
menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam
imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat
menentukan.
49
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 183
3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang
siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.50
Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau
diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang
berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.
Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar (infinity), dalam “The Photographic
Message” Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk
mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan
dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah
kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic
message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas
harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:
a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic
message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran
denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message),
sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang
keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau
familiaritas terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes
mengemukakan
enam
prosedur
konotasi
citra
–khususnya
menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses
produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut
50
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 185.
terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi
melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu
sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects) dan konotasi yang
diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism
dan Syntax), yaitu:
•
Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial.
•
Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto.
•
Object ialah penentuan point of interest gambar/ foto.
•
Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan
gambar (misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle
dan lainnya). 51
•
Aestethism yaitu format gambar atau estetika komposisi
gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna
konotasi.
•
Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto/ gambar, yang
biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption
ialah:
Fungsi Penambat/ Pembatasan (anchorage) agar pokok
pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud
penyampaiannya.
Fungsi Pemancar/ Percepatan (relay) agar langsung
dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.52
51
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 173.
John Fiske (1990) menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto
yang memunculkan pertanyaan ‘ini foto apa’ , sedangkan konotasi adalah
bagaimana ini bisa difoto? atau menitikberatkan pertanyaan ‘mengapa fotonya
ditampilkan dengan cara seperti itu?’.53 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa
yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya. 54
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden,
ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita
kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut
Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.
Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam
dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya
ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat
mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda
(gambar).Roland Barthes pernah mengatakan, ”Apa yang tidak kita katakan
dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu
mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini,
manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan
interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya
52
53
Ibid, h. 174.
Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi,
h. 58.
54
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada
bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan
tertentu. 55
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu;
signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga
unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.56 Form/penanda merupakan
subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil
perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda
diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut
tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai
konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu
bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos
dalam semiotika.57 Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan
atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos
merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo,
mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest,
ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita
itulah yang dinamakan mitos (myth).58
Menurut Barthes mitos memiliki empat ciri, yaitu:
1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem
55
Alex Sobur, Analisis Teks Media.
Ibid.
57
Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland
Barthes), Minggu, 25 Maret 2007).
58
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
56
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada
fakta yang sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud
tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu
diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar
awam.
4. \Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung
motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap
berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.59
Salah satu contoh mitos yang diangkat Barthes dalam buku Mitologi ialah
permainan gulat. Mitos gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk
profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton
pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan
rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang
penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh,
ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan
mencemoohnya. Mitos gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu
ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis,
sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya
59
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded
diakses pada 17 Juli 2009.
karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah
mitos gulat itu terungkap.60
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas
bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu
direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana
mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang
dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan bahwa membagi tanda denotasi
dan konotasi sebagai penciptaan mitos. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi
mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang
lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas
tanda yang hadir.61
Jadi, dalam penelitian semiotik tentang foto berita headline surat kabar
Kompas ini, penulis menggunakan analisis semiotika untuk menjadi titik berdiri
penelitian dengan mengacu kepada makna denotasi dan konotasi yang mengacu
kepada nam prosedur yang dikemukakan oleh Roland Barthes, sehingga penulis
dapat mengetahui makna denotasi dan konotasi yang ada di dalam foto-foto yang
diteliti.
E. Definisi Istilah Penelitian
Sebagai acuan dalam penelitian ini, maka dibuatlah definisi istilah
penelitian ini agar memperjelas keterkaitan antara landasan teori dalam Bab II
dengan analisis data yang ditulis dalam Bab IV. Perumusannya meliputi empat
60
Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland
Barthes), Minggu, 25 Maret 2007.
61
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenalsemiotika-roland-barthes diakses pada 17 Juli 2009.
pokok pembahasan, yang pertama adalah memabaca makna didalam gambar/foto
menggunakan analisis semiotika, yang kedua mengenai foto berita dan
perbedaanya dengan fotografi jurnalistik, yang ketiga adalah menjelaskan secara
singkat tentang Headline, dan yang terakhir adalah tentang
Headline Koran
Tempo.
1. Analisis Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang membahas segala hal tentang tanda (sign)
sebagai tindak komunikasi, dari cara berfungsinya hingga pengirimannya dan
penerimaannta oleh mereka yang mempergunakan. Analisis semiotika yang
digunakan didalam penelitian ini untuk mecari pemahaman makna denotasi
(signifier/form), konotasi (signified/concept) dan mitos (myth/signification)
berdasarkan pndapat Roland Barthes. Makna denotasi ialah penjelasan terhadap
penanda atau aspek material/fisik dari foto. Makna konotasi ialah penjelasan
terhadap petanda atau pikiran atau konsep dari foto. Sedangkan mitos menurut
Roland Barthes ialah ilmu tentang tanda dan merupakan hubungan antara
keberadaan fisik tanda (denotasi) dan konsep mental (konotasi).
2. Foto Berita
Foto berita adalah foto yang mengandung unsur-unsur berita (5W+1H)
dan memiliki nilai berita layaknya sebuah berita tulis. fotografi jurnalistik
memiliki arti yang sama, perbedaannya hanyalah istilah fotografi jurnalistik bersal
dari bahasa Inggris, yaitu Photography Journalism yang lebih sering digunakan
oleh pewarta foto diseluruh dunia, sedangkan foto berita berasal dari bahasa
Indonesia. Dalam penelitian ini diambil lima foto-foto dari foto berita headline
yang ditampilkan surat kabar Kompas pada bulan desember 2008-januari 2009.
3. Headline (Kepala Berita)
Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa head berarti
kepala. Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita.
Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan
menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau
khalayak menganggapnya sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat
berperan membentuk opini publik (public opinion).
4. Headline koran Tempo
Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada
halaman depan Koran Tempo yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena
headline yang berada pada halaman depan adalah sikap yang diambil atas
peristiwa yang dianggap penting oleh pemilik dan orang-orang yang berada di
media tersebut.
BAB III
PROFIL KORAN TEMPO
A. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo
Tempo lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong oleh perusahaan
yang juga dibesarkan pada masa Orde Baru tahun 1971, tetapi Orde Baru juga
yang mematikannya. 62 Tempo lahir dan mati di masa Orde Baru, beberapa
pendiri Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut
menggulingkan Soekarno. Tempo luput dari pembredalan dua kali pada masa
Orde Baru, tahun 1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi Insiden Lapangan
Banteng, menjelang Pemilu 1982 dan dianggap oleh pemerintah mengganggu
keamanan. Untuk itu Goenawan Mohammad harus menandatangani kesepakatan
dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif,
termasuk yang menyangkut keluarga Cendana.
Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, untuk itu
Tempo merupakan fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Periode ketika
Tempo berjaya ialah pada dekade 1980-an, di mana anggaran belanja iklan
perusahaan banyak masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50 % dari total
belanja iklan tersebut. Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan
Tempo mencapai puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen
ke kawasan Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus
puluhan wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah
62
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9 September
2009
Editor, keluarnya mereka dikarenakan Tempo telah berubah menjadi institusi
bisnis, bukan lagi institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela
pemilik modal dan tidak lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga.
“Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika
dalam masyarakat secara mikro. Kantor Tempo pertama di Senen banyak
menyimpan memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru menimbulkan
suasana egaliter; pintu penghubung ruangan yang mirip pintu bar di film-film
koboi; perilaku para kolumnis yang kocak-kocak, seperti misalnya: tulisan Ong
Hok Ham yang sulit diedit karena satu halaman ketik ketinggalan di rumahnya,
atau Abdurrachman Wahid yang bisa menghabiskan dua nasi bungkus sebelum
mulai mengetik kolomnya di Kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya
sendiri yang memang jahil, menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi
ini bergeser ketika kemudian Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi
perkantoran modern di kawasan Kuningan.”63
Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya
meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971
yang merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan
pemerintah. Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan
21 Juni 1994, Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga
menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang
bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan
Koran Tempo. Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan
Editor dan Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin
63
Ibid. “Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas”
bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal
perang dari Jerman, laporan ini dianggap membahayakan stabilitas negara.
Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh
Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan juga kecewa pada sikap Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui pembredelan Tempo, Editor dan
Detik yang kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di
Indonesia, pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya
dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya Koran Tempo
melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana
tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali
diterbitkan di Jakarta, 2 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap
hari.64 Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk
mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara
idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda
dengan surat kabar lainnya.
Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang
mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi.
Market reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah ke atas yang
secara ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang
dianut Koran Tempo adalah “to be concise”, yaitu memberitakan sebuah
peristiwa dengan ringkas padat dan jelas sesuai dengan 5 W + 1 H. Motto ini
64
http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 September 2009
juga yang mendasari desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak
bersambung dari satu halaman lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain
adalah waktu pembaca surat kabar yang relatif pendek.
Saat ini Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah
pergeseran konsep surat kabar harian broadsheet menjadi format tabloid lima
kolom yang lebih mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah
sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di
mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media di Indonesia saat ini, banyak
di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut majalah berita, sukar
menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di dalamnya.
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media
Visi Tempo Inti Media
Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk
berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang
menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat.65
Misi Tempo Inti Media
1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
enampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda
2. Sebuah produk multimedia yang mandir, bebas dari tekanan kekuasaan
modal dan politik
65
Lampiran company profile Tempo Inti Media
3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan
tampilan visual yang baik
4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik
5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam
sesuai kemajuan jaman
6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor
7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya
khasanah artistik dan intelektual
C. Struktur Redaksi Koran Tempo
Penerbit
: PT Tempo Inti Media Harian
Corporate Chief Editor
: Bambang Harymurti
Pemimpin Redaksi
: S Malela Mahargasari. PJ.
Redaktur Eksekutif
: Gendur Sudarsono
Redaktur Senior
: Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan
Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Corporate Secretary
: Rustam F. Mandayun
Redaktur Utama
: Burhan Solihin, Purwanto Setiadi,
Wicaksono
Sekretaris Redaksi
: Dyah Irawati Hapsari
Direktur Utama
: Bambang Harymurti
Direktur
: Herry Hernawan, Toriq Hadad
D. Prestasi.
1. 1971 Edisi perdana TEMPO dapat menjual 20.000 kopi
2. 1977 Penjualan mencapai 47.000 kopi
3. 1988 Penjualan mencapai 166.000 kopi
4. 1991 Menjadi satu-satunya jurnalis dari Indonesia yang meliput perang
Teluk dari Bagdad, Irak.
5. 1993 Penjualan mencapai 200.000 kopi.
6. 1996 Reporter TEMPO, Ahmad Taufik menerima anugerah S Tasrieb
Award.
7. 1997 Reporter Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman Journalist
Award.
8. 1998 Penjualan pada edisi perdana TEMPO pasca dibreidel mencapai
150.000 kopi.
9. 1998 Goenawan Mohamad menerima CPJ Award.
10. 2000 Media pertama yang mengungkap sengketa Buloggate, sedangkan
yang lain hanya mengutip dari TEMPO.
11. 2002 Hasil Survey AC Nielsen, MBM paling banyak pembacanya.
12. 2002 Rommy Fibri menerima penghargaan sebagai Nominee dari
Internasional Federation of Journalist (IFJ) & European Union (EU) di
Belgia.
13. 2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari AJI (Aliansi
Jurnalistik Independent) untuk tulisannya mengenai Investasi Buloggate II.
14. 2003 Rommy F & Maria H menerima penghargaan Apresiasi Jurnalis
Jakarta dalam peringatan 9 tahun AJI.
15. 2003 Merupakan media yang paling komprehensif mengangkat isu illegal
logging periode 2002-2003 dari GreenCom & Inform (TWI, Walhi,
Telapak, WWF, Kemala, AMAN, TNC, FFI, BLI, CI).
16. 2003 Karaniya Dharmasaputra menerima penghargaan M. Hatta Award
atas kinerjanya memberantas korupsi.
17. 2004 Penghargaan kepada wartawan Tempo (Nezar Patria) : Tolerance
Prize dari International Federation Of Journalists atas pemberitaannya
mengenai Aceh.
PENGHARGAAN
1. 1986 Best Cover-Asia Publishing Congress, Singapore.
2. 1989 Second Best Cover-Asia Publishing Congress, Hongkong.
3. 1989 Best Article, 25th National Health Day Award.
4. 1990 Best Outdoor Ad, Citra Mara Award, Indonesia.
5. 1991 Best Photo, Adinegoro Award, Indonesia.
6. 1999 Best Foreign Series Foster, 7th International Printed Graphic Art,
Pakistan.
7. 1999 The Most Read News Magazine, AC Nielsen.
8. 1999 The Most Satisfactory News Magazine, Frontier Penghargaan.
9. 1999 The Most Recognized Magazine, AMI.
10. 1999 The Most Popular Brand News Magazine, Mars- Frontier- SWA.
11. 1999 The Most Read Magazine by Indonesian Bussinessmen, IPSOS-RSL
(Hongkong) Asian Businessman Readership Survey.
12. 2002 Penghargaan Index Customer Satisfaction Award – Frontier.
13. 2004 Penghargaan Medal Of Honor dari Missouri School Of Journalism
Amerika Serikat.
14. 2004 Penghargaan Dewan Pers: Koran Tempo sebagai Harian yang
pemberitaannya paling berimbang dan Harian kedua terbaik secara umum.
15. Dan sebagainya.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Untuk menemukan makna yang terkandung dalam foto sample, peneliti
memaparkan hasil penelitian secara naratif dalam tiga bahasan yaitu, denotasi
analogon, konotasi citra dan mitos.
Makna Denotasi adalah makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal
serta dipahami oleh setiap manusia tanpa harus melakukan penafsiran terlebih
dahulu karena makna tersebut tampak secara jelas.
Makna Konotasi adalah makna yang tercipta dengan cara menghubungkan
penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinankeyakinan, sikap memotret, kerangka kerja, dan ideology-ideologi suatu informasi
sosial tertentu. Makna Konotasi mengacu pada enam prosedur, yaitu Trick effect,
pose, pemilihan objek, photogenia, Aestheiscism dan Syntax.
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami
selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris,
dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi
mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos
adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan
orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos adalah
naratif yang di konstruksikan dengan wacana diaklektis dan eksposisi, mitos
bersifat irasional dan intuitif bukan uraian filosof yang sistematis.
A. Analisis Data 1 (Dunia Tak Berdaya, 31 Desember 2008)
Gambar 3 : Sampel foto 1
Sumber: Koran Tempo, 31 Desember 2008
1. Makna Denotasi
Dalam foto terlihat seorang mayat anak laki-laki berkain kafan
berwarna kuning yang diangkat oleh masyarakat Gaza.
Kurang lebih puluhan laki-laki penduduk Gaza dengan berbagai
ekspresi sedih dan marah sambil menggotong mayat anak lakilaki.
Beberapa laki-laki yang mengabadikan moment ini dengan
kamera ponsel.
2.
Makna Konotasi
2.1 Trick Effect
Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artificial, dengan
maksud membuat foto menjadi lebih baik lagi tanpa mengubah isi foto
yang sebenarnya.
Dalam foto sample ini, Terlihat indikasi pemotongan sebagian
gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang
dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto sample ini.
Selain itu pula, terdapat sentuhan editing, dengan menggunakan
sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar, seperti Photoshop dan
aplikasi sejenisnya dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik
dan merubah foto atau gambar yang sebenarnya.
2.2 Pose
Pose dapat dikatakan sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisi
fotografer. Pada data sample foto ini terlihat beberapa pria mengeluarkan
ekspresi sedih yang mendalam. Sebagian orang menangis, melamun dan
ada juga yang mengabadikan moment ini dengan kamera ponsel mereka.
Posisi fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di depan
subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi yang lebih tinggi dari
subjek foto.
2.3 Objek
Objek
merupakan
benda-benda
atau
yang
dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu dan
merupakan point of interest atau pusat perhatian dalam foto.
Penempatan mayat anak laki-laki itu sebagai point of interest,
sangat menarik untuk dilihat. Terlebih warna kuning yang dikenakan
mayat tersebut menjadi sangat kontras, sehingga mata yang melihat
gambar ini akan langsung tertuju pada mayat anak laki-laki berkain kafan
warna kuning itu.
2.4 Photogenia
Photogenia ialah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan telah
menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti teknik lighting,
exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun
moving.
Foto ini di ambil dengan menggunakan bukaan/diafragma sedang.
Hal ini terlihat bagian yang terlihat fokus/tajam, hanya berada di sekitar
mayat laki-laki itu. Sedangkan sisi atas/belakang terlihat blur. Posisi
fotografer ketika memotret cukup dekat dengan subjek, hal ini terlihat
pada ruang tajam pada gambar tersebut.
Angle pemotretan ini ialah high angle atau pandangan tinggi, yaitu
posisi kamera lebih tinggi dari objek foto dan sedikit menunduk ke arah
objek foto yang lebih rendah.
2.5 Aestheiscism
Aestheiscism atau komposisi merupakan susunan dari berbagai
objek atau gambar yang mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa
“membangun” gambar namun juga bisa mengacaukan gambar. Gambar
pada foto ini terlihat menarik dan eye catching karena penempatan mayat
laki-laki berkain kafan kuning ini berada di tengah kerumanan. Dalam
dunia fotografi hal ini juga di sebut sebagai center of interest.
2.6 Syntax
Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat atau
satu makna tertentu. Syntax tidak harus dibangun dengan lebih dari satu
foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax. Pembentukan syntax
seperti ini biasanya dibantu dengan caption. Foto ini menceritakan bahwa
serangan Israel telah banyak menimbulkan korban, terlebih warga sipil
termasuk anak laki-laki itu.
3. Mitos
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden,
ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita
kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara)
seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya.
Rasa marah dan kesal yang bercampur kesedihan kini tak terbendung
lagi. Ketidakadilan dalam peperangan yang hingga kini masih berlangsung
membuat seluruh masyarakat Palestina menderita. Dibawah keadaan yang
mencekam, membuat rakyat Palestina kehilangan haknya sebagai manusia.
Hingga hari keempat serang Israel tersebut sedikitnya 375 warga
Palestina tewas dan setidaknya 1690 orang lainnya cedera. Seakan dunia tak
berdaya, serangan brutal tentara zionis tersebut terus-menerus merenggut
korban, khususnya warga sipil Palestina.
Penyerangan Israel ke Gaza mesti dilihat dari perspektif hukum dan
HAM. Terang benderang bahwa di sana ada pelanggaran HAM berat. Alasan
pembelaan diri oleh pihak Israel atas lemparan roket Hamas ke kawasan
selatan Israel telah melampaui batas proporsinya.
Beberapa lemparan roket Hamas ditebus dengan ribuan nyawa
masyarakat sipil di Jalur Gaza. Jika korban warga Gaza melebihi angka seribu,
maka korban tentara Israel, menurut Hamas, berjumlah 80 orang, bahkan
menurut Israel hanya 13 orang. Ini kejahatan perang (war crime) dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Setelah Jalur Gaza diblokade dari berbagai sudut oleh Israel yang
menyebabkan kondisi Gaza kian rapuh, maka Hamas bereaksi dengan
mengirimkan roket. Namun, Israel membalasnya dengan membabi buta.
Tindakan
membabi
buta
telah
melanggar
hukum
perang
yang
mempersyaratkan bahwa perang tak boleh menghancurkan fasilitas umum dan
tak boleh menyerang masyarakat sipil. Israel juga menggunakan fosfor putih
yang nyata dilarang penggunaannya ketika perang.
Dengan mengacu pada hukum internasional, seperti Statuta Roma,
Konvensi Hague, dan Konvensi Jenewa 1949, penjahat perang Israel, seperti
PM Israel Ehud Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan Menteri Luar
Negeri Tzipi Livni, perlu dibawa ke Mahkamah Internasional.
Dengan adanya pengadilan yang tegas terhadap para penjahat perang
ini, diharapkan dendam dan kebencian akan bisa diminimalkan. Tanpa ada
sanksi hukum terhadap pelaku, rekonsiliasi antara warga Palestina dan Israel
akan sulit diselenggarakan. Rekonsiliasi hanya mungkin ter- jadi ketika
hukum sudah ditegakkan terhadap mereka yang melanggar aturan dan
konsensus internasional.
B. Analisis Data 2 (Perang Kota Pecah, 6 Januari 2009)
Gambar 4 : Sampel foto 2
Sumber: Koran Tempo, 6 Januari 2009
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini seorang pria dewasa dan anak perempuan (diduga
ayah & anak) sedang berjalan membawa beberapa pakaian untuk
mencari tempat yang dirasa aman, setelah rumah yang mereka
tempati hancur akibat serangan tentara Israel.
beberapa orang melakukan evakuasi terhadap korban dan
beberapa barang yang kiranya dibutuhkan warga sipil Palestina
tersebut.
Puing-puing reruntuhan bangunan berserakan akibat serangan
tentara Israel.
2. Makna Konotasi
2.1 Trick Effect
Dalam foto sample ini, Terlihat indikasi pemotongan sebagian
gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang
dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto sample ini.
Selain itu pula, terdapat sentuhan editing, dengan menggunakan
sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar, seperti Photoshop dan
aplikasi sejenisnya dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik
dan merubah foto atau gambar yang sebenarnya.
2.2 Pose
Bingung dan panik, ekspresi yang terlihat dari wajah korban
serangan tentara Israel itu. Terlebih seorang anak perempuan berbaju
merah yang membawa beberapa tas di tangannya itu terlihat sungguh
sangat bingung dan panik.
2.3 Objek
Hampir sama pada data sample sebelumnya, penempatan point of
interest berada di tengah gambar. Warna merah pada pakaian anak
perempuan itu menjadi salahsatu tanda bahwa gambar anak itu menjadi
pusat perhatian pada data foto sample ini.
2.4 Photogenia
Photogenia ialah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan telah
menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti teknik lighting,
exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun
moving.
Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma atau bukaan
lensa sedang hingga kecil sekitar f11 hingga f16, hal itu membuat hampir
keseluruhan gambar terlihat tajam dan fokus. Fotografer mengambil
gambar yang cukup luas atau entire, dengan maksud memperlihatkan
suasana bangunan yang hancur pasca serangan tentara Israel.
2.5 Aestheiscism
Pada sample foto ini, fotografer mengabadikan sebuah peristiwa
beberapa saat setelah serangan serdadu Israel menghancurkan bangunan
rumah warga sipil palestina. Pengambilan gambar secara luas atau entire
dengan maksud menunjukkan atau menggambarkan kondisi warga sipil
Palestina beserta tempat tinggal mereka pasca serangan tentara Israel
tersebut. Foto ini termasuk dalam kategori General News Photo.
2.6 Syntax
Data foto ini merupakan kondisi warga sipil Palestina pasca
serangan yang dijatuhkan oleh tentara Israel. Kondisi bangunan yang
hancur membuat warga sipil Palestina meninggalkan rumah yang telah
mereka tempati sejak lama.
3. Mitos
Puluhan ribu orang mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Mereka
pun tak mudah untuk kembali, karena rumah tinggalnya telah hangus dilalap
bom canggih Israel. Krisis Gaza menelan ongkos tak sedikit. Belum lagi, efek
psikologis yang timbul pascapembantaian Israel. Trauma akan diderita oleh
anak-anak yang melihat orangtuanya mati mengenaskan akibat hantaman
peluru tentara Israel. Trauma yang sama akan dialami para istri yang
kehilangan sang suami sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Trauma
akut dialami oleh mereka yang seluruh harta bendanya terbakar dan sanak
keluarganya meninggal dunia. Tak bisa dimungkiri, perang ini potensial
menyuburkan kemarahan, dendam, dan kebencian, terutama dari warga Gaza.
Ratapan kemarahan tak mudah dihapus dalam memori mereka, bahkan akan
terwariskan hingga ke beberapa generasi berikutnya. Krisis Gaza kian
kompleks dan bersifat multidimensional
Gaza luluh lantak, setelah tiga pekan digempur dan dibombardir Israel
melalui darat, laut, dan udara, kawasan yang hanya dihuni 1,5 juta orang itu
porak poranda. Diperkirakan 14 persen dari bangunan-bangunan penting, rata
dengan tanah. Ribuan rumah penduduk, ratusan kendaraan bermotor, berpuluh
gedung pemerintah, rumah sakit, gedung sekolah-perguruan tinggi, dan
tempat-tempat ibadah menjadi puing, tak bisa difungsikan lagi.
Gaza gelap gulita, karena jaringan listrik terputus. Masyarakat
kesulitan memperoleh air bersih, karena instalasi air banyak yang rusak.
Kerugian material diperkirakan mencapai angka Rp 15 triliun lebih. Jelas
bukan hanya kerugian material. Bombardir Israel di Jalur Gaza juga telah
menewaskan kurang lebih 1.300 orang dan 5.000 lainnya terluka. Televisi AlJazeera menyiarkan, kemungkinan jumlah korban akan bertambah, seiring
dengan terus ditemukannya mayat di reruntuhan bangunan. Bau bangkai dan
kotoran menusuk hidung. Para korban bukan hanya dari pasukan Hamas,
melainkan juga dari masyarakat sipil tak berdosa, seperti bayi, anak-anak,
kaum perempuan, dan manula. Yang meninggal dunia tak hanya yang
beragama Islam, melainkan juga yang Kristen. Para korban itu mungkin terdiri
dari guru, dokter, advokat, pedagang, buruh, direktur perusahaan, dan
sebagainya.
C. Analisis Data 3 (Hamas Tak Menyerah, 12 Januari 2009)
Gambar 5 : Sampel foto 3
Sumber: Koran Tempo, 12 Januari 2009
1. Makna Denotasi
Sebuah atap dari sebuah bangunan seperti sebuah kubah masjid
di bagian selatan jalur Gaza itu runtuh akibat diterjang peluru
kendali pasukan Israel.
Dua remaja Palestina yang sedang melintas diantara reruntuhan
bangunan.
Langit biru yang terlihat di belakang kubah masjid yang roboh.
2. Makna Konotasi
2.1 Trick Effect
Dalam foto sample ini, Terlihat indikasi pemotongan sebagian
gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang
dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto sample ini.
Selain itu pula, terdapat sentuhan editing, dengan menggunakan
sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar, seperti Photoshop dan
aplikasi sejenisnya dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik
dan merubah foto atau gambar yang sebenarnya.
2.2 Pose
Sebuah gambaran yang cukup mengenaskan. Dua orang remaja
sedang melintasi kawasan reruntuhan bangunan. Mereka berjalan dengan
berhati-hati. Kewaspadaan akan ancaman rapuhnya reruntuhan bangunan
yang mereka lintasi.
2.3 Objek
Reruntuhan kubah dari sebuah masjid di Palestina menjadi point of
interest pada data sample ini. Hal ini terlihat karena porsi kubah pada foto
lebih besar dibandingkan yang lainnya.
2.4 Photogenia
Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma sedang hingga
kecil, hal ini terlihat dari area focus atau ruang tajam dalam foto ini.
Penggunaan difragma yang kecil, menghasilkan ruang tajam yang lebig
luas, yang berarti beberapa detail bagian bangunan masih terlihat tajam
atau focus.
2.5 Aestheiscism
Penempatan komposisi yang menarik. Ujung tiang kubah berada ke
arah sudut frame, dengan membentuk diagonal. Selain itu keberadaan dua
remaja itu menjadi indikator dari ukuran kubah yang sebenarnya. Foto
berita bisa dikategorikan sebagai General News Photo.
2.6 Syntax
Dua remaja Palestina di tengah reruntuhan masjid dan sekolah
yang hancur diterjang peluru kendali Israel di Rafah, bagian selatan jalur
Gaza.
3. Mitos
Dampak konflik ini juga berpengaruh dikalangan anak-anak, sekitar 59
persen penduduk jalur Gaza adalah anak-anak. Dari 220 korban tewas adalah
anak-anak berusia di bawah 17 tahun. Kejadian ini sangat menprihatinkan
nasib anak-anak dipalestina.
Menurut Yayasan Save the Children (Inggris), Anak-anak yang
selamatpun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk
sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia lima tahun.
Masalah yang dihadapi anak-anak akan meningkat karena keluarga mereka
terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka
telah rata dengan tanah.
Kini anak-anak banyak yang trauma, hidup dalam ketakutan mungkin
ledakan berikutnya mengancurkan tempat tinggal mereka. Banyak anak yang
berhenti makan, kehilangaan gairah sebagaimana halnya anak-anak yang
biasanya aktif, kini mendadak menjadi pendiam, kata Sajy Elmaghinni dari
badan PBB untuk anak-anak (Unicef) di Jalur Gaza.
Mereka kehilangan tempat tinggal, tidak bisa tidur, tidak bisa ke
sekolah, kini anak-anak takut dalam kegelapan, aliran listrik yang dulu
menyala terang kini sudah tak ada lagi. Jika suhu dingin, mereka kedinginan.
Dulu mereka masih bisa menghidupkan alat penghangat, namun setelah listrik
padam, kini mereka harus mengenakan baju tebal untuk menghangatkan diri
mereka.
Nasib anak-anak Palestina sangat mengenaskan, mereka harus
kehilangan tempat tinggal, tidak bisa sekolah, gedung sekolah hancur, sebagai
tulang punggung Negara, nasib mereka terancam, tindakan brutal para pionirpionir Israel itu, telah merenggut masa depan para generasi penerus Palestina.
Di sini Dewan Keamanan PBB harus bertindak tegas dalam menangani
masalah konflik antar dua Negara ini, serta memperhatikan nasib dan masa
depan mereka.
D. Analisis Data 4 (Ancaman Nuklir di Gaza, 15 Januari 2009)
Gambar 6 : Sampel foto 4
Sumber: Koran Tempo, 15 Januari 2009
1. Makna Denotasi
Sebuah kepulan asap dan api yang menggumpal di tengah kota
Gaza, diduga akibat dari serangan nuklir tentara Israel.
Pemandangan kota Gaza yang terlihat dari atas gedung yang
tampak berlangitkan kabut akibat asap dari serangan tentara
Israel.
2. Makna Konotasi
2.1 Trick Effect
Masih menggunakan Trick Effect yang sama, yakni terdapat proses
cropping pada foto ini. Cropping sangat membantu menghilangkan bagian
gambar yang tidak perlu, dengan maksud untuk memperkuat foto tanpa
merubah informasi yang sebenarnya.
Pengaturan
kontras
warna
masih
perlu
dilakukan,
untuk
menghasilkan warna yang lebih baik, berkenaan dengan membantu
kebutuhan proses cetak kedalam media kertas.
2.2 Pose
Pada data foto ini, fotografer membuat sebuah foto pemandangan
atau landscape yang menggunakan aturan sepertiga (Rule of Third) dengan
menempatkan
sepertiga
ruang
porsi
untuk
gedung-gedung
atau
pemandangan kota dan selebihnya terdapat hamparan langit yang
berkabut.
2.3 Objek
Dalam data sample foto ini, kembali kita lihat bahwa fotografer
menempatkan kobaran api dan asap hitam itu menjadi point of interest.
Selain karena berada di tengah gambar warna api yang berkobar menjadi
menonjol dibandingkan warna yang lain, sehingga mata langsung tertuju
kepada kobaran api dan asap hitam tersebut.
2.4 Photogenia
Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma dan bukaan lensa
kecil sekitar f19 hingga f32, yang membuat ruang tajam atau fokus
menjadi luas sehingga hampir semua detil gambar masih terlihat jelas.
2.5 Aestheiscism
Karakter foto ini masuk dalam kategori foto landskep, yakni
sejenis dengan foto pemandangan atau disebut juga cityscape. Komposisi
yang menarik dengan menggunakan aturan sepertiga-duapertiga. Sepertiga
ruang untuk bagian gedung-gedung dan ruang selebihnya digunakan untuk
bagian langit.
2.6 Syntax
Kematian hampir 1000 orang Palestina, separuhnya anak-anak dan
wanita. Kelompokan garis keras negeri Zionis itu mendesak pemerintah
Israel melakukan cara seperti Amerika Serikat menaklukan Jepang pada
Perang Dunia II dengan menajatuhkan nuklir.
3. Mitos
Israel berpotensi untuk dihadapkan dan dituntut sebagai pelaku
kejahatan perang karena menggunakan senjata kontroversial dengan
jumlah yang banyak yang dilakukannya terhadap wilayah padat penduduk
Palestina di Jalur Gaza. Israel menggunakan senjata fosfor putih “secara
tidak pandang bulu dan secara tidak sah” terhadap penduduk di wilayah
Gaza yang padat.
"Penggunaan senjata fosfor putih yang dilakukan Israel secara
berulangkali, disamping bukti dari efek yang tidak pandang bulu dan
jumlah korban yang menimpa rakyat sipil, ini adalah merupakan sebuah
kejahatan perang," demikian dikatakan Donatella Rovera dari Amnesty
International.
Fosfor Putih adalah sebuah senjata dengan bahan pembakar tinggi
yang meledak dan pecah ketika mengenai sasarannya serta membakar dan
melumatkannya - tidak bisa dipadamkan dengan air, senjata ini membakar
daging sampai kedalam tulang dan sering pula menjadi penyebab kematian
para korbannya
Tidak hanya puas dengan menggunakan Fosfor Putih, ternya pihak
Israel berniat menghancurkan Hamas dengan menggunakan senjata nukir.
Mereka berniat menghancurkan gaza, seperti hancurnya Hiroshima dan
Nagasaki di Jepang.
Metronews.com melangsir, dalam 20 tahun terakhir perang IsraelPalestina telah merenggut 8900 nyawa.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Koran Tempo merupakan salah satu media massa cetak yang terbit
setiap harinya. Dalam penerbitannya Koran Tempo hampir selalu
menyertakan foto berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbedabeda yang akan diangkat.
Pada edisi bulan Desember 2008 – Januari 2009, Koran Tempo
beberapa kali menampilkan foto berita tentang perang Israel dan Palestina.
Pada foto berita tersebut terdapat makna tertentu yang kemudian penulis
jadikan sampel.
Untuk mengetahui makna tersebut diperlukan sebuah metode
khusus yang dipakai untuk memahami dan mengartikan foto berita
tersebut serta mampu menganalisis tanda-tanda yang berupa visualisasi
yang terdapat dalam foto berita yang dimaksud. Metode yang penulis
anggap paling tepat untuk menganalisis makna foto berita pada Headline
Koran Tempo ini adalah Semiotika Roland Barthes.
Penulis menganalisis empat foto berita yang dijadikan sampel
seperti yang telah disebutkan di atas. Dari empat foto berita tersebut
penulis berusaha menemukan makna denotasi pada awalnya, kemudian
makna konotasi setelah itu berlanjut ke mitos. Untuk menemukan makna
denotasi maka penulis melihat secara langsung apa yang nampak didalam
foto berita tersebut kemudian menguraikannya. Selanjutnya mencari
makna konotasi dengan mengacu kepada enam prosedur semiotika
konotasi Roland Barthes, baru dilanjutkan dengan mencari mitos yang
timbul dari foto berita tersebut.
Keenam prosedur yang dimaksud penulis adalah Trick Effect,
misalnya memanipulasi foto, menambah atau mengurangi objek dalam
foto sehingga memiliki arti yang lain pula. Pose, misalnya mengatur arah
pandangan mata atau cara duduk dari seorang subjek.Object, misalnya
dengan menyeleksi atau menata objek-objek tertentu. Photogenia,
misalnya dengan cara mengatur eksposure, pencahayaan (lighting),
manipulasi teknik cetak dan sebagainya. Aestethicism, misalnya dengan
menggunakan teknik “posterisasi” sehingga sebuah foto seolah-olah
menyerupai lukisan. Syntax, misalnya merangkaikan beberapa foto
kedalam sebuah sekuens sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak
dapat ditemukan pada fragmen-fragmen yang lepas satu sama lain,
melainkan pada keseluruhan rangkaian.
Dari empat foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki
keenam prosedur semiotika konotasi roland barthez tetapi ada beberapa
prosedur yang lebih ditonjolkan seperti Trick Effect, Object, Photogenia.
Hal ini terlihat pada cropping sebagian foto dan manipulasi foto, objek
utama yang ditonjolkan, cara fotografer mengambil gambar, serta
keterangan foto yang bersifat mengarahkan pembaca.
Pesan konotasi yang akan disampaikan Koran Tempo pada berita
tenta perang Israel dan Palestina menunjukan bahwa Perang memang tak
membawa kedamaian, tapi hanya membawa kehancuran. Fenomena
seperti inilah yang terjadi sekarang ini, seperti konflik yang terjadi di
Israel-Palestina. Agresi militer itu, sedikitnya telah mengakibatkan
Gedung-gedung bertingkat rubuh seketika, masjid-masjid hancur, rumah
penduduk rata dengan tanah, banyak nyawa bergelimpanan, menambah
Susana disitu semakin memilukan, beragam duka meyelimuti warga
palestina, isak tangis keluar dari wanita, pria, maupun anak-anak,
darahpun berceceran. Sungguh tragis nasib mereka alami, dan kini yang
tersisa hanya puing-puing bangunan,yang masih berdiri.
Dari
keempat
sampel
foto
berita
yang
diteliti,
penulis
menyimpulkan bahwa foto berita tentang perang Israel dan Palestina
adalah informasi dari sebuah peristiwa yang ingin disampaikan kepada
publik oleh Koran Tempo secara baik dan mudah dipahami oleh pembaca.
B. SARAN
Adapun beberapa saran yang dapat dan perlu menjadi pertimbangan bagi
redaksi foto Koran Tempo adalah sebagai berikut :
1. Sebagai salahsatu media cetak atau Koran yang cukup komprehensif,
Koran Tempo sangat baik dalam memberikan informasi terhadap
masyarakat Indonesia baik berita tulis maupun berita foto, karena
memberikan ruang khusus untuk penikmat foto. Namun sangat
disayangkan Koran Tempo tidak menetapkan rubrik fotografi pada hari
yang tetap dan tidak tentu.
2. Alangkah baiknya jika semua foto yang ditampilkan Koran Tempo
merupakan hasil karya fotografer Koran Tempo itu sendiri.
3. Koran Tempo dapat terus mempertahankan memberikan berita-berita
terkini kepada masyarakat disertakan dengan foto berita yang telah
memenuhi syarat sebagi foto berita dan caption yang telah memenuhi
standard jurnalistik.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, Kisah Mata, Fotografi, Yogyakarta: Galang Press,
2002.
Antara, LKBN, Sebuah Pedoman untuk Pewarta Kantor Berita Jakarta: PT. Sinar
Hudaya.
Alwi, Audy Mirza, Foto Jurnalistik, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Effendy, Onong Uchjana, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung: Mandar Maju,
1981.
Junaedhie, Kurniawan, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
1991
Manurung, Pappilon, Editor: M. Antonius Birowo,
Komunikasi.
Metodologi Penelitian
Mudaris, M., Dasar-Dasar Photo Jurnalism, Semarang : Aksara, 1976
--------------, Jurnalistik Foto, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
1996.
Mulyana, Dedi Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002.
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara,
2007.
Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, Surabaya: Fakultas
Seni dan Desain UK Petra, 2000
Rahardi, F., Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, Depok: Kawan Pustaka,
2006.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Rosdakarya,
2005.
Ruslan, Rosady, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
Santosa, Puji, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, Bandung: Angkasa,
1931.
Saussure, Ferdinand de, A Course In General Linguistics, New York: Mc. GrawHill, 1966
Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung Remaja Rosdakrya, 2004
------------, Semiotika Komunikasi, Bandung, Rosdakarya, 2006.
Soehoet, A.M. Hoeta, Dasar-dasar Jurnalistik, (Jakarta: Yayasan Kampus
Tercinta IISIP, 2003
Sunardi, ST, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002.
Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual.
Yuwono, Untung dan Christomy. T, Semiotika Budaya, Depok: Universitas
Indonesia, 2004.
Zoelverdi, ED, Mat Kodak, Jakarta: PT. Temprint, 1985.
.
Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland
Barthes), Minggu, 25 Maret 2007).
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threade
d diakses pada 17 Juli 2009.
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenalsemiotika-roland-barthes diakses pada 17 Juli 2009.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm,artikel
berjudul “Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius
Haryanto, diakses pada 9 September 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 September 2009
Lampiran company profile Tempo Inti Media
http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-headlinepada.html diakses pada 17 Juli 2009.
http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses
pada 17 Juli 2009
LAMPIRAN
Laporan wawancara langsung dengan Rully Kesuma, redaktur foto Koran
Tempo. Selasa, 10 November 2009 pukul 13.30 WIB di Kantor redaksi Koran
Tempo, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru-Mayestik,
Jakarta 12240.
1. Apa pengertian foto berita menurut Koran Tempo?
Jawab: Kalau secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan
gabungan medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi
dengan tulisan yang mengantar dari isi foto itu sendiri...............foto itu harus
kuat jika berdiri sendiri (tanpa teks/keterangan foto)
2. Bagaimana foto yang baik menurut Koran Tempo?
Jawab: salahsatu syarat foto yang baik itu harus dramatis, artinya orang
begitu melihat langsung bisa merasakan. Foto-foto dramatis akan lebih kuat
meskipun tanpa keterangan foto.
3. Apakah ada proses editing atau pun cropping pada foto berita di Koran
Tempo?
Jawab : Editing hanya sebatas warna atau pencahayaan, tapi bukan
menambah yang tidak ada atau pun mengurangi yang ada. Proses cropping
pasti ada dan hanya sebatas kewajaran. Terkadang ada beberapa bagian
yang dihilangkan untuk kebutuhan tipografi berkaitan dengan lay out atau
desain.
4. Bagaimana proses pemilihan sebuah foto berita menjadi sebuah foto
headline di Koran Tempo?
Jawab: Pada dasarnya kita memilih foto yang terbaik. Meskipun redaktur
memiliki ”kekuasaan dalam masalah foto”, namun tetap saja akan melalui
beberapa proses. Setelah redaktur foto memilih foto kemudian didiskusikan
dengan redaktur eksekutif dan juga dengan bagian desain (design), kira-kira
foto seperti apa yang nanti akan ditampilkan, bagian yang bagaimana yang
tidak boleh ditampilkan, bagian mana yang harus dipotong/crop. Semua akan
melalui diskusi yang ”alot” namun bisa juga fleksibel.
5. Bagaimana proses pemilihan judul headline di Koran Tempo?
Jawab : Judul bisa dimainkan, tapi foto kita agak terbatas.... Pemilihan judul
tidak hanya sekedar memberikan informasi foto, namun satu langkah lebih
maju yakni terkait dengan Isu atau kritik dari suatu peristiwa.
6. Dalam menentukan angle dalam suatu foto, apakah secara tidak langsung
ideologi Koran Tempo mempengaruhi foto tersebut?
Jawab: tidak semuanya seperti itu, namun semuanya tetap akan berkaitan
dengan kebijakan redaksional dari Koran Tempo dan biasanya mereke
(fotografer) sudah paham atas kebijakan redaksi dari Tempo itu sendiri.
7. Dari segi foto berita apakah Koran Tempo berusaha untuk menampilkan
foto yang berbeda pada surat kabar lainnya?
Jawab: semua media pasti ingin beda dan menampilkan foto yang paling baik.
Kita selaku media berusaha dengan sebaik mungkin untuk memanjakan atau
men-servis pembacanya dengan foto, berita dan informasi yang baik.
8. Bagaimana penggunaan caption atau keterangan foto pada Koran Tempo?
Jawab : Ada yang sederhana maupun yang lengkap.... pemberian keterangan
foto/caption tergantung dari kekuatan foto itu sendiri maupun dari kebutuhan
lay out atau desain, namun lebih bagus menggunakan keterangan foto
berdasarkan 5w+1h.
9. Secara Umum, bagaimana pendapat Koran Tempo tentang perang IsraelPalestina?
Jawab : Secara umum kita mengecam serang Israel terhadap Palestina. Dan
secara umum kita sangat mendukung adanya negara Palestina yang mandiri,
bebas dari tekanan dan bisa menentukan hidupnya sendiri. Berita tentang
ketidakadilan itu kita coba ungkapan melalui tulisan, walaupun apakah
membawa hasil atau tidak.
Dokumentasi saat melakukan wawancara langsung dengan Rully Kesuma,
Redaktur foto Koran Tempo.

Documentos relacionados